Wahana Ekspresi Mahasiswa Hukum

Thursday, January 18, 2007

FEATURES

BE 8348 BC

Oleh : Farouk



“Koran,,, Koran,,,” Suara teriakan bising yang membangunkan tidurku. Setelah kamar tertata rapi dan pakaian kotor yang telah menumpuk telah kucuci. Sebatang rokok dan secangkir kopi menjadi teman pertamaku di hari ini. Sambil memikirkan kemana aku akan melepaskan penatku, yang selama satu minggu ini disibukkan dengan perkuliahan yang padat dan kegiatan organisasi pers mahasiswa.
Hari ini kuputuskan untuk mengelilingi pusat kota sambil bersantai, atau sekedar melihat-lihat atau mungkin juga sedikit menghamburkan uang receh. Berangkat dari tempat kost ku digang ratu bersama temanku Far, dengan menggunakan BE 8348 BC butuh waktu sekitar 10 menit untuk dapat sampai di pusat kota.
Kubelokkan motorku menuju Pasar Bawah Ramayana karena disinilah salah satu tempat untuk membeli buku dengan harga anak kost alias terjangkau. Jika dibandingkan dengan toko-toko buku yang lebih populer harga buku disini jauh lebih murah. Sekedar mengecek buku yang kuminati namun tidak untuk dibeli kali ini.
Sengatan matahari mulai terasa, saatnya memulai kembali perjalanan. Sekalian menghindari panasnya matahari kamipun menuju sebuah pusat perbelanjaan dan pusat hiburan serta pusat berkumpulnya kaum hedonis yang terletak di jalan kartini. Setelah mengambil karcis masuk, kuparkirkan motor dan kugembok motorku (untuk lebih meyakinkan keamanan motorku), lalu kami langsung menuju pusat hiburan (bilyar center) yang terletak di lantai 4. Dengan lampu redup diiringi alunan musik hip-hop serta banyaknya kepala yang terlihat namun tetap terasa sejuk karena dinginnya hembusan dari air-conditioner (AC).
Sepintas terlintas dibenakku mengapa tempat ini begitu disesaki banyak orang, lain halnya yang terlihat di toko buku yang tadi sempat kukunjungi?? Apakah yang dilakukan mereka sama dengan yang aku lakukan saat ini hanya untuk sekedar melepaskan penat, atau memang inilah kebiasaan mereka yang hampir setiap hari berada disini untuk menghamburkan uang?? Apapun yang mereka pikirkan semoga itu yang terbaik bagi mereka.
Puas bermain bilyar enaknya mencari tempat untuk menikmati indahnya sore hari. Kuarahkan motor menuju ke GOR saburai. Mungkin ini salah satu tempat nongkrong enak dengan hembusan segarnya udara bebas.
Jika malam minggu tiba maka tempat ini akan padat dengan orang-orang baik sekedar jalan-jalan ataupun untuk nongkrong bersama teman-teman.
Rasa lemas bercampur puas setelah seharian ini melepaskan penatku, akhirnya membawaku untuk segera pulang.


Majalah WEhH Edisi I Desember 2006

Laporan Utama

Perda-Perda Bermasalah
Kebebasan Ataukah Kebablasan

Oleh : Ridha Nurul Ihsan


Ketika munculnya era reformasi sejak tahun 1998, Indonesia memulai jejak baru penyelenggaraan pemerintahan yang tadinya bersifat otoriter dan sentralistik (terpusat), berangsur-angsur mencoba menguranginya dengan salah satu cara, yaitu otonomi daerah. Konsep tersebut sebenarnya sebagai upaya mempertahankan bentuk negara kesatuan, sebab adanya kecendrungan yang kuat dari daerah-daerah untuk memisahkan diri (sebut-merdeka), hal ini tiada lain sebagai akibat dari sifat otoriter dan sentralistik tersebut. Penyesuain dasar hukum terhadap perjalanan konsep otonomi daerah ditandai dengan adanya perubahan yaitu UU No 22/1999 diganti dengan UU No 32 /2004.
Daerah pun lebih memilki kewenangan untuk mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri meskipun diberikan oleh pemerintah pusat, dampak yang timbul kemudian terjadi dewasa ini adalah banyaknya produk hukum daerah, terutama Peraturan Daerah (Perda) dianggap bermasalah. Beberapa contohnya yaitu Perda kota Tangerang No 8/2005 tentang pelarangan pelacuran dimana sering terjadi salah penangkapan pelanggarnya dimana perempuan yang berkeliaran tengah malam di kota Tangerang memakai pakaian minim langsung dianggap WTS kemudian ditangkap/ditertibkan. padahal belum tentulah perempuan itu sebagai WTS; Perda lainnya seperti Perda Provinsi Sumbar No 11/2001 tentang pemberantasan dan pencegahan maksiat; Perda.Kab Solok No 10/2001 tentang kewajiban membaca Alquran bagi siswa dan pengantin; Perda Kab Solok No 6/2002 tentang pakaian Muslimah; Perda Kab Padang Pariaman No 2/2004 tentang pencegahan, penindakan, dan pemberantasan maksiat; Perda No 6/2005 Enrekang (Sulawesi Selatan) tentang busana Muslimah dan baca tulis Alquran, Perda Gresik No 7/2002 tentang larangan praktik prostitusi; Perda No 6/2000 Kab Garut tentang kesusilaan dan belum lagi Perda-perda yang mengatur tentang pajak/ restribusi daerah, yang terkadang bertabrakan dengan peraturan pemerintah pusat mengenai hal itu.
Sedangkan untuk daerah Lampung menurut Kepala Biro (Karo) Hukum Sekda Provinsi Lampung Zulkifli, S.H., saat bersama penulis berdiskusi ringan diruang kerjanya menegaskan bahwa di Lampung sendiri Perda-perda yang selama ini berlaku tidak ada yang bermasalah semua jalan dengan prosedure dan tidak bertentangan dengan peraturan lebih tinggi sebagaimana berdasar pada UU No 10/ 2004 Tentang Pembentukan Peraturan perundangan.
Kemudian lanjutnya bahwa dalam pembentukan Perda tersebut haruslah memakai bahan/naskah akademik sehingga akan terlihat perlu atau tidaknya sebuah Perda diterapkan di suatu Daerah sehingga sesuai dengan ciri kas Daerahnya.
Sedangkan untuk tahun 2006 (hingga akhir Juli) tak ada satupun Perda yang diberlakukan, penyebabnya utamanya adalah situasi politik yang buruk antara Pemda dan DPRD Lampung tak kunjung selesai.
Munculnya anggapan adanya Perda bermasalah di berbagai Daerah menurut Komisioner Komnas Anti-Kekerasan Perempuan Tati Krisnawaty adanya kecendrungan bahwa banyaknya Perda-perda substansinya mendiskrimninasikan perempuan yang mengatur bidang ekonomi hingga moralitas (Kompas 21 Juni 2006). Tak anyallah jika Komnas tersebut mendesak pada Lembaga negara yang terkait seperti DPR, MA, Kepolisian, MK, DPD serta Departemen Hukum dan HAM untuk proaktif menanggapi Perda bermasalah.
Apabila dilihat dari kebanyakan Perda-Perda yang dianggap bermasalah tersebut substansinya mengarah/merujuk/bersumber pada sariat Islam, sehingga tentunya perlu persamaan persepsi batasan Perda hingga disebut bermasalah. Bagi kalangan pro sariat Islam akan beranggapan tidak bermasalah, berbeda halnya dengan kalangan tidak setuju sariat Islam jelas akan menganggap suatu Perda bermasalah sebab berbeda dasar pandangan kajiannya.
Ketua UKM Birohmah Unila Zulkarnaen R, memandang dari sudut pandang keislaman tentang adanya perda bermasalah itu sebenarnya tidak tepat penggunaan istilah “masalah,” karena penyusunannya telah berdasarkan pada keinginan masyarakat setempat. Apabila memang banyak Perda yang terarah pada sariat islam dalam substansinya bukan sebuah bentuk Perda bermasalah akan tetapi merupakan sebuah gejala masyarakat yang mengingingkan sariat islam masuk dalam sistem hukum yaitu masuk peraturan perundangan berupa Perda, lain halnya ketika bermasalah dalam penerapannya. Adanya elemen masyarakat yang menyatakan perda substansinya ada unsur sariat islam disebut bermasalah pada dasarnya merupakan fobia saja.
Berbeda halnya apa yang disampaikan oleh Kasubbag Tata Hukum Biro Hukum Sekda Prov Lampung Lutfi Siasa,S.H., yang berpendapat bahwa sebuah Perda di katakana bermasalah ketika merugikan atau memberatkan masyarakat setempat. Oleh karenanya penyusunannya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun ujarnya, “ yang menjadi kerancuan sekarang adalah tentang pencabutan Perda oleh Pemerintah pusat.”
Kesesuaian antara Perda dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi berdasar pada UU No 10 tahun 2004, serta peraturan turunannya seperti Peraturam Menteri Dalam Negeri No 15, 16, 17 tahun 2005 tentang petunjuk teknis penyusunan produk hukum daerah menjadi pedoman bagi Daerah-daerah untuk memberlakukan sebuah Perda, sehingga apa yang menjadi tujuan adanya konsep otonomi daerah akan tetap terjaga.
Sebuah kebebasan bukan berarti menjadi kebablasan, tetapi pengendalian diri intinya, maknanya bahwa pemberian kewenangan lebih bagi Daerah bukan berarti sebebasnya bertindak tetapi harus ingat adanya pengendali yaitu dasar hukumnya.


Majalah WEhH Edisi I Desember 2006

Friday, September 29, 2006

OPIUM (Opini Umum)

Pejabat Daerah: Seleksi atau Eleksi
(satu dari dua tulisan)

Oleh : Yhannu Setyawan
Staf Pengajar FH Universitas Lampung.

Power tends to corrupt, absolute power, corrupt absolutely, ini ungkapan lama yang sepertinya masih tetap relevan, bahkan di era desentralisasi. Padahal, desentalisasi dibuat salah satunya agar meruntuhkan absolut power kepala negara, dengan membaginya ke kepala-kepala daerah. Namun nyatanya, lahirnya UU No 32 tahun 2004 yang merevisi UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pelaksanaanya justru lebih tampil sebagai distribusi absolut power kepada kepala daerah. Kita menyebutnya sebagai “raja-raja kecil”.
Salah satu isu yang menarik pergunjingan para PNS akhir-akhir ini: mutasi jabatan. Konon menurut Syarif Makhya, “virus” mutasi ini telah membuat stres jajaran pegawai Pemda Lampung yang dihantui ketidakpastian aturan main penjenjangan karir, alih-alih mencoba melakukan protes atau mengajukan usul keberatan (Lampost, 14/3/2005).
Untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, mau tidak mau kita membutuhkan PNS daerah yang profesional, bertanggungjawab, jujur dan adil. Untuk mendapatkan sosok PNS semacam ini, jalan yang harus ditempuh tak lain adalah melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi dan sistem karir, dengan titik berat pada sistem prestasi kerja.
Tentu saja “tangan” yang mampu membentuk sosok PNS daerah yang profesional semacam ini, adalah pejabat daerah; seseorang yang karena jabatan atau kewenangannya mampu untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai negeri, mulai dari Sekda sampai “tukang fotokopi”.
Rekayasa pembentukan aparatur pejabat daerah yang ‘digdaya’ oleh seorang kepala daerah, seharusnya tidak semudah membalik telapak tangan. “Komunitas terbatas” ini tentu memiliki ke-maqom-an tersendiri, karenanya untuk mendapatkan jabatan ini memerlukan sederet syarat obyektif seperti disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian, pengalaman, kerjasama dan mendapat kepercayaan untuk memangku jabatan.
Perlu diatur dengan perencanaan serta manajemen kepegawaian tingkat daerah yang terukur. Sehingga mampu menjadi pegawai yang efisien, efektif, memiliki derajat tinggi dalam profesionalitas penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban kepegawaian. Manajeman dilakukan secara sistematik mulai dari perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian. Terlebih, pejabat daerah yang notabene adalah pejabat karir, adalah jabatan karier dari seorang pejabat struktural atau fungsional yang hanya dapat diduduki setelah memenuhi berbagai syarat yang ditentukan.
Meskipun ada satu hal yang perlu diingat, bahwa kemampuan gubernur untuk berlaku obyektif dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian kepegawaian tentu terbatas. Maka dibutuhkan instrumen yang dapat membantu gubernur, misalnya Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan Instansi Daerah Propinsi (Baperjakat).
Sayangnya terbetik kabar yang unik dalam pengelolaan jabatan Pemerintahan Propinsi Lampung. Banyak posisi atau jabatan strategis dalam struktur pemerintahan yang ternyata tidak sebanding dengan kualifikasi pegawai yang menjabat.
Jika berkaca pada realitas, banyak penunjukan seorang pejabat tanpa mempergunakan pertimbangan badan yang berwenang. Di lain pihak ada seseorang yang memiliki peran ganda dalam satu penugasan. Apalagi jika ditengarai integritas dan kemampuan personalnya patut dipertanyakan.
Jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan mengakibatkan polarisasi dalam tubuh pemerintahan dan perilaku penunjukan yang se ‘agow-agow’ makin membuktikan tidak adanya manajemen kepegawaian di pemerintahan Provinsi Lampung.
Rekruitmen Membawa Bencana
Model rekruitmen pejabat daerah seharusnya berbeda dengan model rekruitmen kepala daerah. Bagaimanapun jabatan kepala daerah adalah jabatan publik yang diperoleh berdasarkan political recruitmen. Melalui model pemilihan (elections) yang sifatnya langsung (direct). Misalnya, seorang balon (Bakal calon) kepala daerah, harus mengikuti berbagai proses eleksi yang dilakukan banyak pihak. Tetapi pemegang kuncinya tetap partai politik. Berdasarkan UU, seorang balon dalam Pilkada terpaksa membutuhkan parpol sebagai kendaraan. Ibarat penumpang, mau atau tidak harus turuti ‘supir’, walaupun sebenarnya memiliki beragam perbedaan, baik berkenaan dengan organisasi politik, latar belakang idiologi, bahkan orientasi personal seorang balon.
Fenomena yang terlihat sederhana itu, ternyata secara sadar atau tidak, merehegemoni gagasan kedaulatan partai politik dalam rekruitmen pejabat publik di Indonesia, sebagaimana dulu kerap terjadi pada masa orde baru. Karena penetapan calon dari suatu parpol biasanya dilakukan di tingkat internal pengurus. Proses yang kemudian disebut ‘kocok bekem’, karena ditengarai tanpa melalui uji publik. Padahal uji publik merupakan mekanisme sederhana dari pertanggungjawaban partai politik terhadap konstituennya pasca Pemilihan Umum 2004.
Proses yang terakhir justru yang paling memilukan. Pemilihan langsung oleh rakyat. Jika mengikuti logika demokrasi, saat inilah sebenarnya rakyat secara tegas menyerahkan sebagian kedaulatannya. Rakyat secara langsung memberikan kepercayaan pada seseorang untuk menjalankan rencana dan janji-janjinya. Rakyat secara langsung dan merdeka menentukan pilihannya.
Namun jika sejenak cermat menelusuri, maka terbongkar bahwa kenyataannya, rakyat hanya mampu memilih calon kepala daerah yang disodorkan partai politik. Secara implisit, dapat dikatakan sebenarnya rakyat tidak diberi kebebasan menyeleksi siapa calon terbaiknya untuk menjadi Kepala Daerah. Rakyat hanya disuguhi foto dan nama calon Kepala Daerah yang harus di ‘coblos’ pada bilik suara.
Dampak dari proses politik dalam pemilihan kepala daerah tersebut yang kemudian menjadi pemicu kesemerawutan pengisian pejabat daerah. Karena pejabat yang berwenang mengangkat, memindah, dan memberhentikan PNS adalah Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi yaitu gubernur, yang merupakan wakil dari suatu partai politik, yang pernah di‘bekemi’ oleh partai politik.


Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

KOLOM

Malu Dong

Oleh Rio Handoko
Sebuah pengantar dari Lorong
gedung B
Sering kali tanpa kita sadari kita menjadi malu, pada diri sendiri, teman, orang tua, pacar barangkali?. Malu memang manusiawi, muncul dengan sendirinya dari dalam hati. Apa yang jadi soal? pertanyaan ini sering pula muncul. Jawabnya tidak ada, kalau kita menempatkan rasa malu dalam porsi dan tempat yang tepat. Namun porsi dan waktu yang tepat inilah yang menjadi soal. Kita seringkali salah dalam menempatkan rasa malu. Bertanya pada dosen -yang menjadi hak kita- dalam perkuliahan membuat kita malu, (ditertawakan teman, takut malah salah, atau segudang alasan lainya yang tidak masuk diakal).
Konon, malu merupakan ciri kerendahan hati, sikap berhati-hati yang merupakan cermin budaya kita. Tapi tentu kita semua setuju, bukan disitu porsi dan tempat yang tepat, tidak pada hal yang menjadikan kita menjadi dewasa dalam arti yang positif. Malu seharusnya muncul dalam diri orang yang tidak mau berusaha dalam hidupnya, dalam diri yang selalu iri pada kesuksesan orang lain, benalu. Tapi apa yang terjadi? Malu justru mulcul ketika kita hendak berusaha untuk memperbaiki diri, minta maaf, mengakui kesalahan, bahkan untuk bertobat pun kita sering dihinggapi rasa malu. Aneh.
Lebih aneh lagi yang sedang terjadi sekarang ini. Orang sibuk berbondong-bondong untuk bisa menjadi koruptor -menikmati hasil keringat kaum miskin, petani, buruh, tukang becak, abang somai dan abang-abang lainnya yang hidupnya diujung tanduk para penguasa- tanpa ada rasa malu sedikitpun, bahkan mungkin bangga dengan harta hasil rampasannya, mobil mewah, rumah bertingkat, tanah luas, simpanan untuk tujuh turunan, tak peduli lagi hak orang lain, karena hidup cuman sekali untuk kemudian mati. Sikat terus apa yang bisa disikat, rampas semua yang bisa dirampas, perdaya semua yang bisa dipedaya selagi berkuasa, hutan kalimantan, kayu dan emas papua, batubara sumatera, minyak ambalat, apalagi yang tersisa? Suburnya tanah jawa, embat, apalagi? Perkosa semua hak petani kalau perlu calon jemaah haji. Orang bilang ini jaman edan kalau tidak edan ketinggalan jaman. Dandanan seksi, pakaian mini, -kalau perlu sedikit berani- menjadi tontonan sehari-hari, di mall, tempat hiburan, kantor, bahkan di kampus demi untuk dibilang trendy. Edan. Mahasiswa sudah lupa dengan kewajibannya untuk menuntut ilmu, memperjuangkan kebenaran, dan mengabdi pada rakyat, padahal kita semua tahu bahwa biaya yang dibebankan kepada mahasiswa adalah hasil pengurangan dengan subsidi pemerintah, dari uang rakyat.
Dan kita hanya tahu; datang kekampus, dengerin dosen ngomong, ngerjain tugas, uas, selebihnya kita nampang, pacaran, ngobrol ngalor-ngidul. Mana Organisasi? Mana Diskusi? Organisasi telah mati, terkubur disudut mall, Diskusi? Diganti obrolan tentang gossip terkini. Lengkaplah sudah penderitaan negeri ini.
Mulai hari ini, ya ini adalah saat yang tepat untuk memulai segala sesuatu menjadi lebih baik, mulai menerima kekalahan sebagai pembelajaran dan membangun kembali semangat berjuang melawan ketidakadilan. Bukan malu untuk maju, karena malu hanya untuk mereka yang kalah melawan nafsu, terombang-ambing dalam semunya dunia. Dan untuk mereka yang berjuang walau akhirnya harus kalah, salut. Lemah jarimu mengepal…


Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

Rehat

Gebyar Tubuh Baru
Oleh : Bugi Purnomo Kiki

Kesenian merupakan sebuah bentuk ungkapan dari ekspresi diri yang terwujudkan dalam sebuah gerak, suara, lirik, musik, dan bentuk. Agaknya hal inilah yang melatar belakangi calon anggota baru UKM-BS Unila pada Sabtu malam tanggal 26 Maret kemarin di PKM Lt. 1 untuk menunjukan aktualitas mereka sebagai komunitas baru di bidang kesenian, khususnya seni tari, musik, dan theater. Ketiga bidang tersebut memang menjadi tontonan pada malam itu. Menurut brosur yang dibagikan panitia, ini memang merupakan pertunjukan perdana atas arahan dan kerjasama dengan senior. Jadi kalau mau kita bilang, pertunjukan malam itu merupakan ajang khusus bagi anak-anak Baru UKM-BS untuk unjuk gigi sebagaimana nama acara malam itu yakni Gebyar Wajah Baru yang mengindikasikan adanya sesuatu yang baru dalam tubuh UKM-BS Unila, mungkin juga dalam rangka tes mental buat anak-anak baru agar dapat melanjutkan perjuangan senior-seniornya kelak.
Penampilan pertama adalah tarian, karya dari Shanty Tania. Kalau dilihat dari temanya, tarian ini memperlihatkan dua orang saudara kandung kakak beradik yatim piatu. Kedua anak itu sangat berlainan sifatnya sehingga bersaing secara destruktif dan akhirnya asosial. Namun, mereka berubah ketika melihat teman-teman sebaya mereka yang menjalin kerukunan...
Pementasan kedua menampilkan lima orang muda-mudi dengan pakaian seni ala kemben keraton, tiap-tiap dari mereka memegang alat musik kedaerahan seperti Gendang dan Angklung. Sambil bernyanyi, mereka juga melakukan akting yang membuat hadirin tertawa. Dari suara panitia, diberitahukan kalau acara kedua merupakan pentas musik yang berjudul Moment karya Mutiah Mutiara Sukma Bungamayang, hanya saja mereka lebih tampak melakukan lakon sandiwara dibanding musiknya sendiri, hal ini nampak dari karakter pemusiknya yang sering melakukan lakon-lakon sifat dasar manusia seperti seolah-olah melakukan senggama hingga mengorek-ngorek lubang hidung. Uniknya, ada Sebuah kritik dalam bentuk politik identitas terhadap yang dominan yang diselipkan pada akhir ‘musik’ dengan pemberitahuan bahwa mereka berlima ini menampilkan musik dari berbagai benua, yang anehnya, benua Asia tidak disebut tetapi diganti dengan benua ‘Jawa’ atau ‘Indonesia.’
Pertunjukan terakhir merupakan theater yang berjudul Sukat dengan Sutradara Dedi Apriansyah. Dari brosur tertulis kalau theater ini merupakan inspirasi dari puisi Joko Pinurbo. Kisahnya bermula dari seseorang yang bernama “Sukat” sedang mengalami depresi yang umumnya sering dialami warga di kota-kota besar. Si sukat ini sedang terlihat stress di dalam sebuah night club, ia tampak mengalami keterasingan dengan dunia sekelilingnya dan tak ada yang peduli padanya, selama ini ia selalu melampiaskan rasa kekecewaannya atau keinginannya melalui sebuah objek semisal boneka bayi dan sebuah buku yang dianggapnya dapat meredam jiwanya. Sebenarnya semuanya ini dia lakukan dalam rangka mencari jati dirinya yang sesungguhnya, apakah makna hidupnya, hingga ia pun lalu mempertanyakan dan mencari tahu apakah atau siapakah “Sukat” itu? Nampaknya ini merupakan bentuk dari pencarian eksistensi diri terhadap dunia realitas modern yang kian membelenggunya.


Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

Siapa Tokoh

Reza: Memperjuangkan Hak - Hak Demokratis Mahasiswa Merupakan Tugas Organisasi Mahasiswa Di Dalam Kampus
Oleh : Berlianto dan Febri Kurniawan

***
Nama: Reza Gunadha
Tempat/ Tanggal Lahir: Bandar Lampung/ 17 November 1984
Perjalanan Organisasi:
- Ketua KPPBL (Komite Pelajar Progresif Bandar Lampung)
-Anggota FMN Cab. Bandar Lampung, sebagai koordinator Departemen Agitasi dan Propaganda.
Jurusan: Hukum Tata Negara.
***
Apa pandangan anda tentang gerakan mahasiswa pada umumnya dan tanggapan atas kondisi mahasiswa FH terhadap gerakan saat ini ?
Untuk kondisi saat ini, memang banyak sekali hal yang patut kita tinjau, terkait dengan terbelokkannya alur reformasi yang dijalankan oleh gerakan itu sendiri. setidaknya da tiga poin penyebabnya. Pertama, gerakan masa demokratis pada saat itu tidak punya garis politik yang tegas sehingga dalam perjalanannya bisa diambil alih oleh elit - elit politik baru yang menguntungkan bagi kelompok mereka. Kedua setelah berhasil rezim otoriterian soeharto tidak dapat mengkonsolidasikan massanya sendiri. terlihat jelas dengan tidak adanya satu organisasi berskala nasional yang dapat menyatukan seluruh organisasi gerakan yang berskala lokal dalam satu barisan yang mempunyai garis organisasi dan garis politik yang tegas. Ketiga terpisahkannya mahasiswa dengan pemuda secara utuh sehingga malah melemahkan konsolidasi gerakan mahasiswa itu sendiri.
sedangkan pendapat saya tentang pandangan mahasiswa FH terhadap organisasi dan gerakan mahasiswa terbilang sama dengan mahasiswa dimanapun yaitu alergi atau dalam kata lain berorganisasi itu hal yang tidak perlu dan buang waktu saja. Hal itu sebenarnya bukanlah kesalahan dari mahasiswanya tetapi salah dari organisasinya, hal tersebut dikarenakan pemikiran tentang apakah organisasi mahasiswa itu berpihak pada kepentingan mahasiswa itu sendiri (seperti penurunan biaya SPP/ fasilitas perkuliahan atau lainnya), sehingga mahasiswa akan berbondong - bondong memasuki organisasinya.
Apa yang seharusnya mahasiswa lakukan untuk memperjuangkan hak - hak demokratisnya (sosial - ekonomi mahasiswa) ?
melakukan secara terus menerus perjuangan melalui berbagai bentuk perjuangan seperti aksi, hearing, petisi dsb. Saya salut terhadap kawan - kawan FH’03 yang terus menerus memperjuangkan piagam proptinya yang belum diberikan oleh kampus.
yang harus kita pahami sebagai mahasiswa ialah dalam memenuhi semua hak - hak demokratis mahasiswa (pendidikan murah, perbaikan dan penambahan fasilitas perkuluahan, kebebasan berekspresi dan berorganisasi,dll)tak ada jalan lain selain perjuangan yang terdidik dan terorganisir. Contoh sederhananya, apakah dengan adanya road to faculty, ada perubahan yang signifikan terhadap hak- hak mahasiswa ? nah, banyak cara yang dilakukan dalam perjuangan, namun yang terpenting ialah, organisasi harus dijadikan alat perjuangan kita.
Bagaimana pandangan anda terhadap situasi politik kampus saat ini, lebih titik tekannya pada pemira ?
Sitiuasi politik yang seperti apa ? Dalam panangan saya, politik itu adalah perjuangan untuk memenangkan seluruh tuntutan perjuangan yang berdasarkan kepentingan bersama. Yang terlihat seperti kawan - kawan tehnik kimia mogok kuliah. Tapi praktek politik yang ada saat ini, masih kebanyakan seperti perjuangan elit politik kita saja, “bagaimana merebut posisi yang berdomisili terhadap sesama mahasiswa, dan mempertahankan posisi yang berdimisili tersebut”. Untuk Pemira saya lebih senang menyoroti tentang ketertiban mahasiswa dalam pemira, sangat kecil sekali prosentase mahasiswa yang ikut menyumbangkan suaranya dalam pemira. Apa sebabnya, kalau pandangan saya sama seperti tadi ketika memperbincangkan masalah organisasi gerakan mahasiswa yang ditinggalkan oleh massanya sendiri. Banyak mahasiswa yang berpandangan, pemira hanya milik mahasiswa yang berorganisasi saja, yang mempunyai motif dalam pemira yaitu, memenangka posisi yang berdominasi untuk organisasinya.
Permasalahannya bukan terletak dari mahasiswanya, tapi pada sistem lembaga kemahasiswaaan termasuk sistem pemirannya. Dari pemira sendiri masih banyak saja kepentingan sosial-ekonomis mahasiswa yang terbengkalai, tak diperjuangkan, ini adalah kesalahan fatal dan akut, yang telah menyebabkan mahasiswa semakin apolitis (mahasiswa merasa dikhianati).
Maukah anda bila dicalonkan menjadi gubernur FH ?
dalam pandangan saya, pemimpin itu harus lahir dari massanya sendiri. Artinya, pemimpin itu haruslah mengerti benar apa yang menjadi keinginan, kemauan, dan fikiran dari massanya sendiri., agar nantinya seorang pemimpin tersebut benar -benar dapat menyimpulkan/menggariskan kebijakannya kepada keinginan, kemauan, dan fikiran massanya (dalam hal ini, mahasiswa).
Memperjuangkan hak - hak demokratis mahasiswa melalui lembaga mahasiswa legal kampus, bukanlah kesalahan tapi merupakan pilihan perjuangan. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan pertanyaan anda itu, karena keyakinan saya adalah, pemimpin itu harus berasal dari massa itu sendiri (seperti diatas), maka biarlah massa yang akan menentukan siapa pemimpin yang pantasdari mereka.
Terakhir, apa harapan anda terhadap teman - teman mahasiswa FH lainnya
Harapan saya kepada teman -teman saya lainnya ialah, kita harus tetap memperjuangkan untuk mendapatkan hak - hak demokratis bagi kita, tanpa perjuangan tak akan pernah mendapatkan hak - hak demokratis kita sebagai mahasiswa. Belajar pun menjadi tugas kita, baik belajar di perkuliahan maupun dengan berirganisasi.
Kita harus ingat bagaimana anak - anak buruh, petani, kaum miskin perkotaan tak mampu bersekolah karena biayanya yang mahal. Memahami kondisi masyarakat kita pun menjadi hal terpenting bagi kita, agar kita mengenal kondisi yang sebenarnya dirasakan oleh masyarakat, sebab kita juga adalah bagian dari mereka.
Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

Resensi Buku


PERLU ADANYA PEMAHAMAN MENDALAM DARI STUDI KEBUDAYAAN
Oleh : Wahyu Heriyadi


Cultural studies merupakan suatu teori yang dibagun oleh pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoritis sebagai praktik politik. Cultural Studies bukan sebuah perbincangan suatu mahzab atau keilmuan tertentu, ia interdisipliner, multidisipliner, bahkan postdisilpiner. Cultural Studies menyerap banyak disiplin keilmuan yang sudah ada dan kemudian mensintesakannya. Secara konsisten cultural studies focus pada isu kekuasaan, politik dan kebutuhan akan perubahan sosial.
Dalam penggunaan metode dari karya karya Cultural Studies, terpusat pada tiga macam pendekatan, yaitu : etnografi, pendekatan tekstual, dan studi resepsi. Etnografi merupakan pendektan empiris dan teoritis yang diwarisi dari antropologi yang berusaha membuat deskripsi terperinci dan analisis kebudayaan yang didasarkan atas kerja lapangan secara intensif. Cultural Studies etnografis terpusat pada eksploitasi kuaitatif tentang nilai dan makna dalam konteks cara hidup, yaitu pertanyaan tentang kebudayaan, dunia-kehidupan dan identitas.
Pendekatan tekstual, terdapat tiga cara analisis dalam Cultural Studies, yaitu : semiotika, teori narasi, dekonstruksionisme. Semiotika mengeksplorasi bagaimana makna yang terbangun oleh teks telah diperoleh melalui penataan tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode kode budaya, analisis tersebut banyak mengambil dari ideologi, atau mitos teks.
Narasi adalah penjelasan yang tertata urut yang mengklaim sebagai rekaman peristiwa. Narasi merupakan bentuk tertstruktur dimana kisah membuat penjelasan tentang bagaimana dunia ini. Dekonstruksionisme diasosiasikan sebagai pelucutan yang dilakukan Derrida atas oposisi biner dalam filsafat barat, mendekonstruksi berarti ambil bagian, melucuti, untuk menemukan dan menampilkan asumsi suatu teks. Tujuan dekonstruksi bukan hanya membalik urutan oposisi biner tersebut, melainkan juga menunjukkan bahwa mereka saling berimplikasi. Dekonstruksi berusaha menampakkan titik titik kosong teks, asumsi yang tak dikenal yang melandasi operasi mereka.
Studi resepsi/studi konsumsi, menyatakan bahwa apapun yang dilakukan analisis makna tekstual sebagai kritik masih jauh dari kepastian tentang makna yang teridentifikasi yang akan diaktifkan oleh pembaca/audien/konsumen, maksudnya bahwa auien merupakan pencipta aktif makna dalam kaitannya dengan teks.
Ketika berbicara tentang budaya pop, Mahzab Franfurt memandang budaya pop atau budaya massa adalah tidak autentik, manipulatif dan tidak memuaskan. Manipulatif karena tujuan utamanya adalah agar dibeli dan tidak memuaskan karena selain mudah di konsumsi ia pun tidak mensyaratkan terlalu banyak kerja dan gagal memperkaya konsumen. Lain halnya dengan Cultural studies, memandang bahwa audiens aktif, meski produksi budaya pop ada di tangan perusahaan kapitalis transnasional, makna selalu diproduksi, diubah dan diatur pada level; konsumsi oleh orang yang merupakan produsen aktif makna. Sehingga Cultural studies berasumsi bahwa tidak perlu meratapi dan beromantisme dengan budaya tradisional.
***

Judul Buku: Cultural Studies: Teori dan Praktek
Penulis: Chris Barker
Penerbit: Kreasi Wacana, Yogyakarta, Cetakan I, Oktober 2004
Tebal: xxvi + 466 halaman


Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

Lembar Tinjauan

Urgensi Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Berkaitan Dengan Pembangunan Bandar Antariksa Di Christmas Island Australia Dalam Rangka Melindungi Kepentingan Nasional Indonesia

Oleh : Nurmala Karuniawati, S.H. *

Australia adalah salah satu negara yang turut ambil bagian dalam program keantariksaan dan telah mempersiapkan diri untuk memasuki industri antariksa(komersialisasi ruang angkasa yang meliputi segala macam aktivitas yang berhubungan dengan ruang angkasa untuk memperoleh keuntungan ekonomis) Rencana yang diwujudkan .dengan pembangunan Bandar Antariksa Christmas Island itu telah dipersiapkan dengan matang. Nilai investasi yang ditanamkan sebesar 52,5 juta US dolar untuk up-grading jalan udara, bandar udara dan pelabuhan laut. Pembangunan fisik pulau Christmas island telah dimulai sejak tahun 2002 dan diharapkan peluncuran komersial dapat dilakukan rata-rata lima belas peluncuran pertahun setelah tahun 2006 (Fokal Edisi No. 3/Tahun II/Februari 2002: 10). Hal ini tentu saja dapat membahayakan kepentingan Indonesia.
Potential Damage yang dapat membahayakan bagi kepentingan nasional Indonesia adalah, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh nuklir dan radioaktif, pecahan-pecahan benda ruang angkasa (space debris), kerusakan pada lapisan ozon, kerusakan yang disebabkan oleh kontaminasi, kerusakan yang disebabkan oleh struktur yang luas, dan kerusakan yang disebabkan oleh satelit dan sistem solar. Ketentuan hukum mengenai potential damage ini, bahkan jika sudah terlanjur terjadi terdapat di dalam Space Treaty 1967, Rescue Agreement 1969 dan Liability Convention 1973 serta draft-draft yang telah ditentukan oleh UNCOUPUS. Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Pasal IX Space treaty 1967 bahwa negara-negara harus menghindarkan perbuatan yang dapat menimbulkan “harmfull contamination”.
Prinsip-prinsip hukum internasional seperti, Pasal 74 Piagam PBB yang memuat Prinsip Good Neighbourliness, Prinsip 2 Deklarasi Rio dan Prinsip 21 Deklarasi Stockholm yang memuat Prinsip Kedaulatan Negara, juga OECD Act point ke enam yang memuat Prinsip The Duty to Notify, kemudian point ke tujuh dan delapan memuat Prinsip The Duty to Consult serta Prinsip 15 Deklarasi Rio tersebut dapat diterapkan dalam rangka melindungi kepentingan nasional Indonesia, adalah dengan melakukan suatu upaya penataan secara nasional sebagai langkah implementasinya, bentuknya dalam pengembangan suatu sistem hukum keruangangkasaan (keantariksaan) dalam kerangka sistem hukum nasional Indonesia melalui suatu penetapan undang-undang keantariksaan nasional nantinya adalah mengenai aspek keamanan bagi kegiatan keantariksaan, dimana yang harus diperhatikan adalah masalah kepentingan keamanan nasional. Seperti di Amerika Serikat setiap kegiatan keantariksaan baik di dalam negeri maupun yang dilakukan oleh pihak luar haruslah berdasarkan pada jaminan kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat disamping manfaat yang dapat dikontribusikan bagi kepentingan publik.
Untuk mejaga kepentingan nasional Indonesia, hal-hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, pembangunan Bandar antariksa di Christmas Island perlu mendapat perhatian khusus, karena dapat mengancam dan menimbulkan keresahan terhadap kepentingan nasional Indonesia, serta perlu dilakukannya pembicaraan intensif antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia.
Kedua, mendesaknya untuk menerapkan Prinsip-prinsip hukum umum internasional yaitu prinsip good neighbourliness dan juga prinsip kedaulatan negara serta prinsip hukum lingkungan internasional yaitu the duty to notify, the duty to consult dan the precautionary principles agar pembangunan Bandar antariksa di Christmas island Australia dapat di suspend.
Ketiga, perlu adanya upaya penataan secara nasional, dalam bentuk pengembangan suatu sistem hukum keruangangkasaan dalam kerangka sistem hukum nasional Indonesia suatu penetapan Undang-undang keantariksaan nasional mengenai aspek keamanan bagi kegiatan keantariksaan dimana yang harus diperhatikan adalah masalah kepentingan keamanan nasional yang mencakup didalamnya mengenai aspek perlindungan lingkungan, aspek keselamatan nasional, sistem dan mekanisme pertanggungjawaban, dan sebagainya.
Dan terakhir, Indonesia dan Australia secara geografis negara bertetangga atas dasar itulah hendaknya saling menjaga hubungan baik satu sama lain, hendaknya Australia memikirkan kembali mengenai pembangunan Bandar antariksa Christmas island dan rencana pengoperasiannya karena dapat mengganggu serta membuat resah pihak Indonesia berkaitan dengan potential damage dari pengoperasian Bandar antariksa tersebut. Oleh karena itu itikad baik semestinya selalu ada pada setiap negara, untuk tidak menjalankan aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta lingkungannya.

*Penulis merupakan alumni FH Unila Bagian Hukum Internasional
Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

TIPS dan Info

Judul, Kunci Kesuksesan Skripsi
Oleh : Rio Handoko

Menjelang akhir masa studi, mahasiswa akan disibukkan dengan yang namanya skripsi. Ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum perubahan status mahasisiwa menjadi sarjana. Sebagian Mahasisiwa menjadikan skripsi sebagai “momok” yang menakutkan. Hal itu bisa menjadi benar / benar sebagian / keliru / bahkan menyesatkan tentu saja tergantung pada penyikapannya. Skripsi, bisa saja menyenangkan, asalkan kita menguasai fokus pemecahannya.
Dan untuk kamu - kamu yang ngerasa berat dalam mengahadapinya, berikut ini merupakan tips menghadapi skripsi.
Pertama, judul, hal ini tidak bisa kita anggap remeh, ini merupakan refleksi dari masalah yang hendak kita teliti. Karena itu sebelum kita menentukan judul yang hendak diteliti, ada baiknya kita perhatikan hal - hal, seperti : Pemilihan judul harus menarik, ini penting karana dapat membangkitkan semangat kerja dalam penelitian. Judul bisa muncul dari mana saja, dari pengamatan kita di media massa sehari-hari terhadap permasalahan yang ada, atau pengalaman. Kedua, judul yang dipilih mampu dilaksanakan, dalam hal ini menyangkut kertersediaan data, waktu, dan biaya. Ketiga, judul harus mengandung kegunaan praktis dan perlu untuk diteliti, hasilnya harus -bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, dan ilmu pengetahuan- sesuai dengan waktu dan biaya yang kita keluarkan. Keempat, hindari terjadinya duplikasi dengan judul lain, tentunya kita tidak mau nantinya ada yang mengatakan kalau skripsi kita adalah hasil contekan, kecuali judul tersebut telah melewati kurun waktu 5 tahun, karena tentu permasalahan yang mucul mengalami tingkat kompleksitas. Selain judul ada satu hal lagi yang penting, motodologi. Metodologi diperlukan untuk menjawab permasalahan yang dimunculkan. Metodologi memberikan pedoman tentang tatacara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisis, dan memahami lingkungan yang dihadapi. Dua hal tersebut merupakan kunci kebehasilan kita dalam mengerjakan skripsi. Mudah-mudahan tips diatas dapat membantu dalam memudahkan mencapai gelar kesarjanaan seperti yang kita harapkan.
Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

FEATURES

Suara-Suara Penyelamat
Oleh : Bugi Purnomo Kiki

Suara gaung klakson kereta terdengar jelas dari pinggir rel. Semakin lama semakin jelas, menandakan akan melintasnya sebuah kereta dari arah Palembang menuju Tanjung Karang. Dari belakangku datang seorang bocah yang hendak menyebrang rel, tiba-tiba ia diteriaki dengan keras oleh tukang ojek serta ibu-ibu penjaja makanan “woi, awas kereta.” Untung saja bocah itu mendengar dan segera menghentikan langkahnya. Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang selesai kuliah, Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya lewatlah jua rangkaian kereta yang warga sekitar menyebutnya dengan nama “kereta Babaranjang.” Sebelum kereta tersebut melintas membelah jalan, banyak kendaraan yang mengalah, termasuk juga para pejalan kaki yang hendak menyebrang. Saat itu aku berpikir, bagaimana kalau bocah tadi tak mendengar suara gaung kereta dan kalau tak ada para tukang ojek serta ibu-ibu penjaja makanan? Seram aku membayangkannya.
Setelah raksasa besi itu berlalu, semuanya langsung melanjutkan perjalanannya, aku pun demikian, hanya saja aku tiba-tiba teringat sebuah peristiwa yang terjadi beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada hari Jum’at pagi di bulan Maret, ketika itu aku dengan mata kepalaku sendiri melihat tertabraknya tukang ojek di penyebrangan rel tadi, kebetulan oleh kereta Babaranjang tadi. Mungkin kalian sudah pernah mendengar beritanya dikoran-koran, tetapi bagiku peristiwa ini memiliki kesan tersendiri bagiku, yakni “manusia dimangsa oleh ciptaannya sendiri.”
Memang kejadian itu terlihat hanya sebagai kecelakaan biasa saja, seorang tukang ojek ceroboh yang membawa seorang wanita dan diantara keduanya terapit seorang anak kecil! Wanita dan anak kecil tersebut selamat, sayangnya, nasib malang menimpa tukang ojek tersebut. Kala itu sebenarnya suara klakson sudah terdengar sangat jelas, mungkin karena tukang ojek itu datang dari arah masjid sehingga tidak melihat dengan jelas datangnya kereta dari arah Palembang karena rel tersebut menikung ketika mendekati jalan raya, aku mengetahuinya karena ada disebrang jalan ketika hendak menyalakan rokok.
Kejadiannya begitu mendadak, pengendara motor itu telat menyadari akan datangnya kereta api, walaupun warga sekitar telah meneriakinya dengan segala macam ocehan mulai dari “awas mas, kereta,” “minggir, mau mati lo,” hingga “goblok, berhenti ada kereta.” Teriakan-teriakan tersebut rupanya telat membuat pemberi jasa tumpangan itu sadar, motornya telah memasuki setengah rel kereta itu dan meskipun tukang ojek itu telah sadar serta berusaha untuk mengelak namun dalam sekejap motor itu telah tertabrak dan terpental, demikian juga dengan pemberi jasa tersebut. Wanita dan anak kecil tadi sempat menghindar dengan meloncat kebelakang, dan lari histeris entah kemana tak muncul lagi. Kereta terus berlalu dengan mantap, aku berpikir “apa ini bisa disebut dengan tabrak lari?”
Semetara kedua penumpang itu lari menjauhi tempat kejadian, warga sekitar langsung mendekat karena hendak mencari korban, namun tak diketemukan, yang ada hanyalah motor itu yang terpental sekitar 10 Meter dan sedikit ceceran-ceceran darah serta sesuatu dari organ tubuh manusia yang tidak enak untuk ku sebutkan. Rupanya tukang ojek itu terseret kereta, dan mungkin masih terseret hingga Tanjung Karang, pikirku saat itu.
Sesampainya di kostan, langsung kurebahkan badanku dipembaringan yang sudah agak tipis, suasana nampak sepi dan tanpa sadar aku sedang merenungkan kejadian yang kualami barusan. Bagaimana kalau seandainya bocah tadi tetap terus berjalan menyebrangi rel? Ah, kalau gitu memang sudah nasibnya yang sial, namun seandainya saja ada yang bisa dilakukan selain suara teriakan saja, misalnya membuat plang pintu kereta agar bisa menutup jalan jika ada kereta yang hendak lewat. Takdir itu memang ditangan-Nya, namun kurasa manusia juga memiliki kebebasan untuk menentukan langkahnya, langkah untuk membuat plang pintu kereta.
Sebenarnya, setahuku, Perum KAI lah yang bertanggung jawab terhadap ketersedian plang pintu kereta tersebut, tetapi jika melihat kejadian yang tadi ku alami, sepertinya aku lebih menghargai suara-suara teriakan dari pinggir jalan.
Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

SOROS (SOROtan Sekilas)

WORKSHOP PENULISAN ILMIAH (SKRIPSI) HIMA HI SEPI PEMINAT

Oleh : Berlianto


FH Unila (23/03) Himpunan Mahasiswa Hukum Internasional pada hari Rabu (23/03) menggelar Workshop Penulisan il miah (Skripsi) di gedung PJK FH Unila. Acara yang ditujukan untuk membantu mahasiswa hukum baik yang sedang menyusun maupun yang akan menyusun skripsi ini ternyata kurang diminati oleh mahasiswa FH. Hal ini diungkapkan sendiri oleh PD III FH Elman Eddy Patra , S.H., M.H dalam sambutannya sekaligus membuka acara. Menurut beliau hal ini patut disayangkan karena pada dasarnya workshop sangat berguna untuk membantu mahasiswa dalam menyusun skripsi dan sangat menyambut baik kegiatan tersebut ditengah sepinya kegiatan ilmiah di Fakultas Hukum. Dari data peserta yang ada tercatat hanya sekitar 27 Mahasiswa FH yang mau mengikuti kegiatan ini.



Mahusa Gelar Pameran Foto

Oleh : Mawi Karno dan Febri Kurniawan

Ged. A FH Unila (11/4) Mahasiswa Fakultas Hukum Sayangi Alam (Mahusa) gelar pameran foto hasil koleksinya, dan mengambil tema “ Lihat, Pahami, dan Lestarikan.“ Acara tersebut digelar selama 3 hari dari tanggal 11 - 13 April 2005, dan di adakan dari jam 08.00 - 19.00 WIB. Foto-foto yang dipamerkan sendiri berjumlah 40 buah dengan berbagai macam ukuran foto dari yang 3R - 12R. Acara yang diketuai oleh Euiys Islammiyah (FH’02) ini berhasil menjual beberapa foto yang dipamerkan sebanyak 8 buah. Pembeli berasal dari kalangan dosen dan juga mahasiswa, dan acaranya sendiri mendapatkan respon yang baik dari berbagai kalangan mahasiswa FH yang memang kebetulan melewati tempat pameran tersebut.

Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

Dapur Redakasi

Kenapa Harus Lempar Tanggung jawab?

Lempar tanggung jawab.Hal tersebut, saat ini menjadi hal yang ramai untuk dibicarakan bagi mahasiswa FH’03 dan juga mahasiswa lainnya pada umumnya.Yang terjadi saat ini ketika sesuatu hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan malahan merasa tidak bertanggung jawab akan hal tersebut. siapakah yang harus bertanggung jawab? ataukah hal tersebut hanyalah sebuah hal yang sepele?...
tentunya kejadian yang terjadi tersebut lagi - lagi harus merugikan mahasiswa, segala janji dan kebijakan yang dibuat oleh para pembesar kampus tersebut hanyalah sebuah roman picisan saja. karena diwaktu sebelumnya, yang dalam hal ini Universitas, mengakui dan berjanji bahwa dari propti ini para peserta akan sepenuhnya mendapatkan hak untuk memiliki piagam propti yang kemudian bergulir menjadi sebuah kebijakan bahwa piagam Propti tersebut menjadi sebuah syarat untuk wisuda.
sekarang yang terjadi, ketika mahasiswa (FH’03-red) bertanya - tanya tentang keberadaan piagamnya, justru yang ada malah para pihak yang berkompenten merasa telah melaksanakan kewajibannya (baik itu Universitas ataupun fakultas). memang sebenarnya tidaklah rumit jika berfikir atas apa yang terjadi diatas, namun ketika suatu hal tersebut menyangkut sebuah kebijakan birokrasi, semuanya itu menjadi kompleks, sesuatu yang sebenarnya telah jelas siapa yang seharusnya berkepentingan, menjadi tidak jelas.
jika kita menelaah, secara lahiriah, birokrasi, adalah berarti melayani.Kenapa saat ini yang terjadi pada pigam propti FH 2003 menjadi tidak terlayani dengan jelas dan tak jelas siapa yang bertanggung jawab. ada baiknya para pihak - pihak tersebut berbicara bersama - sama dalam satu meja untuk menjelaskan kesalahan atau kekusutan yang terjadi, sehingga hal ini bisa terjadi sedemikian adanya.
Redaksi
Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

Berita Foto



Seminar Profesi Hukum di Gedung C FH Unila
Foto oleh Febri Kurniawan

Laporan

BEM FH DAN PAMA FHE TURUN KE JALAN

Oleh : Berlianto


Ged. DPRD (09/3) BEM FH dan PAMA FHE beserta beberapa UPT yang tergabung dalam Forum Anti Malaysia (FAM) menggelar aksi turun kejalan menuntut sikap tegas Pemerintah terhadap krisis blok Ambalat yang menjadi sengketa antara RI dengan Malaysia.
Aksi yang dipusatkan didepan gedung DPRD Lampung dimaksudkan untuk memberikan tekanan kepada pemerintah pusat agar dapat menjaga keutuhan NKRI dari ancaman kehilangan Pulau Ambalat yang kini diklaim oleh Malaysia. Aksi yang melibatkan sekitar 33 mahasiswa Hukum ini juga sempat menarik minat sejumlah orang yang berada di jalan karena selama dalam perjalanan menuju Gedung DPRD para pendemo tidak henti-hentinya meneriakan yel-yel “Ganyang Malaysia”.
Dalam orasinya, Andri Firmansyah sebagai Gubernur BEM FH menuntut ketegasan Pemerintah terhadap tindakan semena - mena dari Malaysia yang selama ini telah memandang rendah RI, seperti melakukan penyiksaan terhadap TKI, dan yang tebaru, kriris di pulau Ambalat. Pendemo mendukung sikap Pemerintah untuk menyerang Malaysia. Selain itu, menurut Andri, “aksi ini adalah wujud dari sikap mahasiswa yang masih peduli terhadap isu-isu nasional dan masih mempunyai sikap nasionalisme”. Sedangkan perwakilan dari Pama FHE dengan tegas menolak sikap diplomasi jika pada akhirnya Amabalat terlepas dari NKRI.
Para mahasiswa juga menuntut agar sikap mereka ini dapat diteruskan oleh para Wakil Rakyat untuk disampaikan ke Pemerintah Pusat. Oleh sebab itu, mereka menuntut agar para anggota Dewan keluar dari ruangan sidang. Akhirnya setelah menunggu lama, para Mahasiswa diterima oleh Ahmad Jasuli (FPKS) dan Wendy Melfah (FPG) yang berjanji akan menyampaikan sikap serta tuntutan mahasiswa ini kepada pemerintah pusat.
Setelah diterima para wakil rakyat daerah, para pendemo bergerak kearah Bundaran Gajah dan memberikan selebaran kepada para pengguna jalan. Mereka mengakhiri aksi di depan Mall Kartini yang merupakan pusat keramaian di Kota Bandarlampung. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mempunyai empati terhadap apa yang terjadi di Negara ini.



Mahasiswa FH, perlu Link dan Jaringan Informasi

Oleh : Febri Kurniawan


FH Unila (15/04) Jaringan informasi atau Link sangat diperlukan oleh mahasiswa FH Unila. Hal tersebut terungkap dalam seminar tentang Etika Profesi dan Sosialisasi PERMAHI yang mengambil tempat acara di Gedung D1 FH Unila. Acara tersebut sendiri merupakan hasil kerjasama antara Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) dengan BEM FH Unila dan Mata Kuliah “Etika Profesi Hukum.”
Acara yang dimulai tepat pukul 13.30 Wib ini dimulai dengan sambutan dari PERMAHI, BEM FH, dan dilanjutkan dengan Tisnanta, selaku dosen pada mata kuliah Etika Profesi. Dalam sambutannya sendiri Tisnanta menekankan agar para mahasiswa yang mengambil mata kuliah Etika Profesi di semester genap ini, mampu mengetahui tentang Etika Profesi dalam berbagai kalangan penegak hukum.



BEM FH MENGGELAR GEBYAR HUKUM 2005

Oleh : Ade. W . S

FH Unila (14/3) Dalam rangka merealisasikan program kerja serta memperingati Dies Natalis Fakultas Hukum, BEM FH Unila menggelar acara “ Gebyar Semarak Hukum 2005 “ yang dilaksanakan pada tanggal 21 - 26 Maret 2005 lalu, dan bertujuan untuk mempererat silaturahmi antar civitas akademika Unila pada umumnya dan fakultas hukum pada khususnya, selain itu juga untuk meningkatkan kreativitas mahasiswa, serta meningkatkan rasa sosial. Kegiatan yang pelaksanaannya diketuai oleh Heni Mariantika (FH’01), terdiri dari beberapa rangkaian acara, yaitu: Sunatan Massal, Diskusi Publik, Lomba Pidato, Debat Mahasiswa, Bazar dan Festival Musik. Namun karena minimnya Sumber daya manusia, dan keterbatasan dana, diskusi Publik gagal dilaksanakan, sedangkan lomba pidato, dan debat mahasiswa diundur sampai dengan akhir april 2005.
Puncak acara digelar Sabtu (26/3), berlangsung cukup meriah. Namun menurut Nana (bukan nama KTM), “acaranya kurang meriah gak seperti tahun kemaren, mungkin sosialisasinya kurang kali ya, tapi sudah cukup lumayan” ujar Nana yang diamini kedua temannya. Hal senada juga dikemukakan Andry “partisipasi yang kurang maksimal dari mahasiswa yang disebabkan kurang sosialisasi dari panitia, mungkin yang menyebabkan acara kurang greget seperti tahun kemaren” ujaranya. “Nasyid sebenarnya akan dihadirkan untuk lebih memeriahkan dan menghidupkan acara pekan semarak hukum 2005.” Hal inilah yang dikemukakan Andry Firmansyah (Gubernur BEMFH).
Menurut Andry, pada mulanya acara ini dirancang agar sedikit berbeda dengan konsep tahun –tahun sebelumnya, keinginannya ingin membuat gebrakan dengan mengkolaborasikan nasyid sebagai pengisi acara. Namun kurang koordinasi dan keinginannya disalah artikan oleh panitia pelaksana, akhirnya tidak bisa teraelisasi. Lain halnya menurut Endi(bukan nama KTM), acara yang diadakan ini, dirasakan kurang bermanfaat untuk meningkatkan daya intelektualitas mahasiswa dan mengganggu perkuliahan.
Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

Laporan Utama

Piagam Propti 2003, Dimana ?

Oleh : Tery Jakson

FH Unila (05/4) Bagi mahasiswa yang telah memiliki Piagam PROPTI ( Program Orientasi Perguruan Tinggi ) mungkin dapat sedikit berbangga diri, karena setidaknya mereka telah memiliki salah satu syarat terpenting untuk dapat diwisuda di Unila. Tetapi tidak sama halnya dengan mahasiswa FH angkatan 2003 Reguler, sampai saat berita ini diturunkan (selama 1 ½ tahun – Red ) mereka masih belum memiliki piagam propti yang berfungsi sebagai salah satu syarat terpenting untuk dapat diwisuda di Unila.
Hal ini ditegaskan oleh Edoy mahasiswa FH angkatan 2003 “Piagam Propti ini seharus -
nya udah lama dibagiin, karena piagam ini merupakan salah satu syarat terpenting bagi kami untuk wisuda,“ hal senada juga diungkapkan oleh Joe (FH’03), “Dimana-mana disetiap kegiatan itu ada kenang-kenangan, dan mungkin dalam hal ini Senat fakultas harus lebih berfungsi dalam menyelesaikan kasus piagam Propti FH 2003”. Sedangkan menurut salah satu sumber yang . tidak ingin disebutkan namanya, menyatakan “Pak Elman Eddi Patra selaku PD III FH Unila pernah menyatakan belum menerima penyerahan piagam Propti angkatan 2003 dari pihak Rektorat, dia sendiri baru mengetahui kalau piagam Propti 2003 FH belum dibagikan, dan apabila memang tahun kemarin sudah dibagikan kami (PD III dan Akademik-Red) akan langsung menyerahkannya ke BEM. Ia (PD III FH Unila - red) juga menambahkan bahwa, piagam Propti bukan merupakan syarat untuk dapat diwisuda tetapi hanya sebagai syarat untuk berorganisasi”.
Sementara itu, Aman Toto selaku Sekpel piagam Propti Unila 2004 saat ditemui wartawan WehH mengatakan hal yang berbeda, “Untuk piagam Propti 2003 dan 2004 FH sudah turun ke Fakultas, dan sudah ada surat serah terima melalui PD I selaku ketua dan PD III selaku Sekretaris,” ujarnya.
Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

Iklan

Turut Berduka Cita Atas Naiknya Harga BBM
Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

Rehat

Nonton Film, Kritis

Oleh : Wahyu Heriyadi


Film, pandangan umumnya sebagai alat penghibur, ditonton bersama-sama dengan keluarga, teman, atau pacar. Namun, apabila membaca literatur yang mengkaji film sebagai basis kajiannnya, maka akan lain, film akan dilihat sebagai sesuatu yang rumit, mungkin juga akan serumit rumus matematika. Berkaitan dengan dominasi, hegemoni, bahkan kandungan ideologi yang terdapat dalam film tersebut, patut ditelaah. Meskipun film biasanya mengangkat fenomena dari kejadian masyarakat pada saat ini, bahkan juga sebagai politik identitas dari kaum minoritas, yang kemudian dituangkan menjadi gagasan dalam film tersebut.
Seperti yang dilakukan oleh mahzab Frakfurt, dan juga mahzab Birmingham yang dengan cultural studiesnya, bagaimana mereka memandang film, terlebih lagi film yang diproduksi oleh film Hollywood, sebagai rangkaian proses hegemoni dan ideologisasi. Dan juga yang dilakukan oleh Aa Gym dan kawan-kawannya yang sangat peduli pada moral dan ahlak bangsa, memandang film sebagai proses perusakan ahlak, terlebih lagi pada kasus film Buruan Cium Gue. “Untuk film tersebut diibaratkan saya melihat Duren busuk, untuk apa saya memakannya, dilihat saja sudah busuk dan bau,” begitulah kira kira Aa Gym pernah berkomentar dalam sebuah tayangan berita di televisi mengenai film tersebut.
Film-filmnya Selly Marcelina, ketika masih eksis dan beliau berkata bahwa “kalau bukan kita siapa lagi yang akan memproduksi film”, dia berkata begitu di saat film-film Indonesia tidak ada di pasaran. Selly Marcelina, dengan film-film hotnya. Pada waktu itu ada di bioskop-bioskop dan lulus sensor film, dan banyak masyarakat kelas menegah ke bawah menontonnya. Saya juga pernah menontonnya, salah satu filmnya menceritakan tentang pergaulan bebas dan berakhir dengan akibat yang harus ditanggung dengan pergaulan bebas, yaitu penyakit, kita menikmati tontonan itu dari mana? Proses film itu berlangsung? Atau membaca di akhirnya? Jawabannya pengarang telah mati, begitu menurut Roland Bartes.
Disisi lain, film-film bangkit kembali setelah lama terpuruk dan mengalami stagnasi dalam produktivitas, meskipun filmnya selly Marcelina tetap eksis, baru setelah Petualangan Sherina, gelombang besar-besaran produksi film bangkit kembali. Hal tersebut bukan sebuah proses sederhana, dimulai dengan komunitas-komunitas film maker dan film-film indie yang beredar di pasaran, seperti film Bintang Jatuh yang menjadikan bintang filmnya dan sutradaranya menjadi dikenal dan kemudian Ada Apa Dengan Cinta menjadi kisah semua remaja di Indonesia, bahkan diputar di Australia. Remaja sebagai subkultur, kisah cintanya menjadikan trade mark di pasaran saat ini, pasti akan laku, ditonton, begitu juga merambah di kancah sinetron.
Dan film maker saat ini sangat berani dalam mengangkat fenomena yang ada, meskipun hanya minoritas, dalam mengangkat cerita cinta tentang gay dan lesbi, sebuah politik identitas! Kita bisa melihatnya di film Arisan, dan entah film apa lagi nanti, bagaimana sikap kita? Apakah harus seperti para pembuat film dokumenter yang membuat counter dari hegemoni militer baik di jaman orde baru dengan membuat film dokumenter tentang pelanggaran HAM oleh militer?
Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

Siapa Tokoh

Ahmad Adjam : 1 tahun otodidak = 3 bulan di Zoom

Oleh : Helmy

Namanya Ahmad Adjam (FH’02), cukup dipanggil Adjam saja. Lahir di Lampung tanggal 8 Mei 1984. Jadi usianya saat ini 20 tahun. Pria berperawakan tinggi semampai ini adalah Ketua Umum UKM Zoom, itu lho UKM yang menjadi “pelarian” bagi mahasiswa yang punya hobi di bidang Fotografi.
Jadi kalo ada anggapan anak Hukum hanya ngurusin KUHP dan Hukum aja itu salah besar, Adjam telah membuktikannya. Diwawancarai ketika jeda kuliah di pelataran Gedung D FH Unila, dia bertutur banyak tentang UKM yang di pimpinnya. “Zoom pada angkatan awalnya banyak menampung teman-teman Fisip Komunikasi sudah satu setengah tahun ini vakum”, tuturnya kepada WehH. Tanpa banyak basa basi ditambah keinginan yang kuat untuk membuat UKM-nya maju, Zoom berhasil dihidupkan kembali olehnya. karena itu dia dipercaya sebagai Ketua UKM Zoom periode 2004-2005.
Lalu bagaimana dapat “kecebur” untuk belajar fotografi? Bilangan positif tidak selalu berawal dari nol bisa saja bilangan positif itu berawal dari minus. Mengawali karirnya dibidang jurnalistik dengan belajar dari pengalaman sendiri, yang dimulainya dari buku selama 1 tahun dan diakui oleh dirinya semua itu sangat jauh ketinggalan dari 3 bulan pertama masuk ke Zoom, tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk terus bergelut dibidang Fotografi dan eksistensinya di Zoom. Disela sinar mentari yang menyorot tajam, Adjam tetap mengharapkan partisipasi teman-teman mahasiswa yang mempunyai minat di bidang Fotografi ,walaupaun kurang berpengalaman, untuk bergabung di UKM Zoom. “Mari kita nongkrong di Zoom, sama-sama mulai dari awal, sama-sama belajar, ngeratain skill, untuk sama-sama maju”, katanya. Jadi santai saja, kurang pengalaman tapi berminat tinggal isi formulir doank!. Zoom menampung semua aspirasi dibidang Fotografi, antara lain; Fotografi Jurnalistik, Fotografi Potret, Fotografi Fine Art, Fotografi Model.
Saat ditanya tentang visi untuk Zoom sendiri kedepannya, beliau menjawab dengan diplomatis; “ Zoom menampung minat fotografi mahasiswa Unila, Membentuk klub - klub Fotografi & Cinematografi di Sekolah-sekolah yang ada di Bandar Lampung”. Beliau mengejawantahkan visinya kedalam progja, yang antara lain; “Road to school” (Diklat fotografi) 7 sekolah SMA di Bandar Lampung, ditindak lanjuti dengan Kerjasama untuk membentuk club-club Fotografi & Cinematografi di SMA-SMA (saat ini baru di Xaverius), Lomba Fotografi Umum Tingkat Mahasiswa, Pelatihan Fotografi Tingkat Dasar & Tingkat Menengah untuk Mahasiswa. “Sehingga nantinya target apresiasi untuk dapat mengeluarkan karya tiap 2 bulannya dapat dicapai”, ujarnya. Salah satu Progja jangka pendek yang cukup menarik adalah pameran hasil jepretan rekannya yang sudah dua hari dikirim ke Aceh untuk dijadikan pameran foto manusia dimana semua anak Zoom memegang foto hasil karya rekannya dan bersedia untuk diputer-puter layaknya etalase tepat di bawah pohon beringin agar dapat dilihat khalayak ramai. Pameran akbar khusus Zoom merupakan salah satu progja jangka panjangnya.
Dengan kembali dihidupkannya mesin organisasi Zoom ini diharapkan kedepannya Zoom mampu menarik minat orang awam untuk berekspresi & berkreativitas ngeluarin hobby fotografi (Gambar) sehingga dapat disetarakan bahkan lebih diatas Teknokra (Jurnalisme), UKMBS (Seni). Selain itu dia juga termotivasi dengan romansa yang membanggakan.
Pada tahun 1998, UKM Zoom sempat menjadi Juara Foto Tingkat Nasional yang diadakan oleh majalah Foto Media. Di akhir tahun 2004 lalu, UKM Zoom sempat dipercaya untuk menjadi panitia Peksiminas dalam bidang Fotografi di Mall Kartini yang dijuarai oleh Medan sebagai juara konsep foto media terbaik. Adjam juga mengomentari; “Anak Jakarta juga bagus-bagus tapi mereka diluar tema”, ujarnya.
Waktu pun berlalu, obrolan singkat kami pun berakhir, karena adanya date line berita yang lain sedangkan beliau hendak pulang. “Ok Jam, trima kasih yah atas waktunya”, ucap kami mengakhiri pembicaraan dan kami pun berpisah di persimpangan. Namun dari hasil wawancara tersebut kami mendapatkan sebuah pengalaman yang menarik. Ternyata anak hukum itu tak selalu ngurusin masalah Hukum dan KUHP saja.
Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

Resensi Buku

Hukum Konstitusi Masa Transisi : Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik

Oleh : Ade W. Saputra

Sebuah negara yang sedang mengalami transisi demokrasi, perubahan arus cepat merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena negara tersebut masih mencari sebuah konsep ideal pondasi sebuah negara. Transisi politik menuju demokrasi selalu menempuh jalan panjang dan berliku, tak jarang dalam suasana yang penuh ketidakpastian. Bagi sistem pasca otoriter, robohnya bangunan negara, atau sekurang–kurangnya ketika bangunan negara tidak lagi dapat memainkan perannya dengan baik, ditengah kegalauan dan harapan masyarakat pada bangunan yang menggantikannya, amat memerlukan pengelolaan sistem yang luar biasa kompleks. Pengenalan institusi–institusi baru untuk menggantikan yang lama merupakan tahap yang harus dilalui sebelum memasuki konsolidasi demokrasi.
Kapan konsolodasi itu tercapai tak seorangpun tahu. Secara normatif, rumusan itu mungkin hanya akan berbunyi ketika tidak ada seorang pun yang merasa memiliki alternatif bagi demokrasi. Pada prakteknya, tidak mudah. Semuanya merupakan proses yang niscaya berlangsung di dalam koridor ketentuan–ketentuan demokratik, termasuk hukum dan perundang–undangan.
Gejala yang ada, ilmu hukum tata negara yang dikembangkan tengah mengalami defisit berkepanjangan disebabkan kurangnya pengembangan aspek teoritis, akademis dan praksis yang komunikatif. Kemudian gagalnya komunikasi melalui “buku hukum yang akademis” berdampak negatif bagi hukum konstitusi pada masa transisi. Misalnya kecenderungan untuk kembali ke masa otoriter dan ilmu hukum yang bercampur dengan norma dan dogma. Bila tidak dimulai maka dikhawatirkan dapat berakibat pada masyarakat yang cenderung akan mendapatkan kenihilan dari tembok akademis dan dis-informasi tentang peran hukum diruang publik. Sebab ilmu hukum yang normatif tidak identik dengan dogmatis karena dogma hukum merupakan bagian dari pengembangan keilmuan normatif. Normatif bermakna pengembangan ilmu berdasarkan fakta, kenyataan parsial, praksis komunikasi dan refleksi epistimologi. Sekilas inilah gambaran apa yang coba dikritik oleh pengarang buku ini. Yang mencoba menyajikan fenomena alternatif akan kenyataan yang ada dan Harapan akan sebuah konstistusi pada masa transisi yang mengakomodasi setiap keinginan berbagai elemen. Kemudian apa saja yang memungkinkan tidak dibutuhkannya konstitusi pada masa transisi akan dibedah secara tajam melalui pendekatan teori–teori yang dipakai oleh Freud. Penulis juga bermaksud menyajikan kepada anda yang meminati kajian lintas ilmu yang beranjak dari ilmu hukum dan mengembangkan penelitian ilmu hukum bersama dengan ilmu–ilmu sosial humaniora lainnya. Selamat membaca!!!
***
Judul Buku: Hukum Konstitusi Masa Transisi : Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik IdeologiPenulis: Anom Surya PutraPenerbit: Nuansa Cendekia, Bandung, Cetakan I, November 2003Tebal: 256 halaman

Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

LembarTinjauan

PP No. 24 Tahun 2004 dan/atau kemarukan

Oleh : Bugi Purnomo Kiki



Awal tahun di tanah air kita, dalam konteks Otonomi Daerah, selalu ditandai dengan sebuah permasalahan yang selalu berulang-ulang tak ada habisnya. Hal ini dapat kita temui di tiap surat kabar yang beritanya melulu membahas mengenai penyusunan (R)APBD oleh para anggota dewan. Memang sebuah kewajaran untuk dibahas, karena memang RAPBD yang selalu disusun setiap tahunnya itu ternyata bukannya memihak rakyat malahan memihak para pembuatnya sendiri, yakni anggota dewan. Permasalahan yang dituntut sebenarnya berkisar antara terlalu besarnya anggaran untuk kehidupan dewan dibanding dengan anggaran untuk kesejahteraan rakyat.
Anggaran keuangan yang diperoleh anggota DPRD sebenarnya telah diatur melalui Peraturan Pemerintah, yakni PP No. 24 Th 2004 Tentang Kedudukan Protokoler Dan Keuangan Pimpinan Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan yang terdiri dari 32 pasal ini sebenarnya bermaksud untuk mencegah para anggota dewan di daerah agar tidak melakukan korupsi kebijakan dengan melakukan mark up berkaitan dengan pendapatan mereka sendiri.
Tetapi permasalahannya, ternyata PP itu sendiri sangat bertentangan dengan semangat ekonomi kerakyatan yang kita anut. Ada beberapa celah hukum yang dapat di’olah’ menjadi peluang untuk melakukan manipulasi proyek, selain memang besarnya jatah uang yang diberikan kepada anggota dewan di daerah.
Berkaitan dengan pendapatan anggota dewan, gaji pokok Gubernur ternyata sangat menentukan sekali terhadap besarnya pendapatan para anggota dewan di daerah. Jika kita membaca koran Radar Lampung pada tanggal 16 Februari 2005, ditulis bahwa gaji pokok Gubernur sebesar Rp 41.400.000,- per tahun atau sekitar 3,45 juta Rupiah per bulan, termasuk PPh. Berdasarkan pasal 10 PP ini, ada sekitar delapan pos yang dapat menjadi lumbung pendapatan anggota dewan, diantaranya Uang Representasi yang diberikan tiap bulan sebesar gaji pokok Gubernur untuk ketua DPRD, 80 % gaji pokok gubernur untuk Wakil Ketua DPRD, dan 75 % gaji pokok gubernur untuk anggota DPRD. Selain itu, pimpinan dan anggota DPRD juga mendapatkan Uang Paket tiap bulannya sebesar 10 % dari uang representasi yang bersangkutan (pasal 12) untuk menghadiri rapat-rapat dinas. Ada juga Tunjangan Jabatan (pasal 13) yang besarnya 145 % dari masing-masing Uang Representasi.
Disamping itu, berdasarkan pasal 14 ayat 1 PP tersebut, ada tunjangan yang diberikan saat anggota dewan duduk dalam Panitia Musyawarah atau Komisi atau Panitia Anggaran atau Alat Kelengkapan lainnya. Besarnya tunjangan tersebut tergantung pada jabatan yang dipegang. Misalnya, Ketua Komisi akan mendapatkan 7,5 % dihitung dari tunjangan jabatan Ketua DPRD, Wakil Ketua Komisi mendapatkan 5 % dihitung dari tunjangan jabatan Ketua DPRD, Sekretaris Komisi akan mendapatkan sebesar 4 % dihitung dari tunjangan jabatan Ketua DPRD, dan anggota Komisi sebesar 3 % dihitung dari tunjangan jabatan Ketua DPRD.
Selain itu, yang menjadi polemik adalah penentuan Tunjangan Kesejahteraan anggota dewan (pasal 16 – 22). Pasal-pasal tersebut dinilai dapat membuka peluang untuk melakukan manipulasi anggaran, seperti penyewaan rumah dinas yang mewah sampai penentuan premi asuransi untuk kesehatan para anggota Dewan. Nah, jika anda tertarik untuk menjadi anggota Dewan, maka mulailah dari sekarang untuk mencari dukungan untuk pemilu 2009.
***

Ketua DPRD
Uang Representasi Rp. 3.450.000,- Ket. Setiap bulan sebagai gaji
Uang Paket Rp. 345.000,- Ket. Setiap bulan untuk rapat dinas
Tunjangan Jabatan Rp. 5.002.500,- Ket. Setiap bulan karena kedudukannya
Jumlah Rp. 8.797.500,- Ket. Belum termasuk PPh
Wakil Ketua DPRD
Uang Representasi Rp. 2.760.000,- Ket. Setiap bulan sebagai gaji
Uang Paket Rp. 276.000,- Ket. Setiap bulan untuk rapat dinas
Tunjangan Jabatan Rp. 4.002.000,- Ket. Setiap bulan karena kedudukannya
Jumlah Rp. 7.038.000,- Ket. Belum termasuk PPh

Anggota DPRD
Uang Representasi Rp. 2.587.500,- Ket. Setiap bulan sebagai gaji
Uang Paket Rp. 258.750,- Ket. Setiap bulan untuk rapat dinas
Tunjangan Jabatan Rp. 3.751.875,- Ket. Setiap bulan karena kedudukannya
Jumlah RP. 6.598.125,- Ket. Belum termasuk PPh

***

Ketua Komisi Rp. 375.187,-
Wakil Ketua Komisi Rp. 250.125,-
Sekertaris Komisi Rp. 200.100,-
Anggota Komisi Rp. 150.075,-
Keterangan : Setiap bulan kepada anggota DPRD yang menduduki jabatan tersebut


Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

OPIUM (Opini Umum)

Secondary Application

Oleh: Ade W. Saputra
Peminat Kajian Hakekat



Salah satu potensi yang membuat manusia menjadi dua sisi (sisi baik dan sisi buruk) adalah akal. Akal yang masih berperan dengan sempurna pastinya akan menjadikan setiap perbuatan yang dilakukan akan terus dijadikan sebuah pertimbangan (dialektika), agar apa yang dikerjakan selanjutnya memuaskan hati dan perasaan tanpa ganjalan sedikitpun.bersama struk baru untuk diajukan kepada bank BNI unila. Terakhir Manusia adalah sebuah sistem yang sangat sempurna dari berbagai unsur-unsur yang ada didalamnya. Karena dari semua makhluk yang ada dimuka bumi ini manusia yang diberi potensi paling lengkap oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari jasad yang sempurna sampai dengan akal yang membuat manusia berinteraksi dengan alam dialektika. Dengan jasad yang komplit dan sempurna manusia bebas berbuat tanpa hambatan–hambatan yang berarti. Dengan ruh manusia diberi upaya memfungsikan jasad. Dengan hati, yang membuat manusia berperasaan. Dan potensi lain yang perannya tak kalah canggih dari yang lainnya. Tak salah memang kelak manusia dianugerahi makhluk yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk – makhluk lainnya.
Salah satu potensi yang membuat manusia menjadi dua sisi (sisi baik dan sisi buruk) adalah akal. Akal yang masih berperan dengan sempurna pastinya akan menjadikan setiap perbuatan yang dilakukan akan terus dijadikan sebuah pertimbangan (dialektika), agar apa yang dikerjakan selanjutnya memuaskan hati dan perasaan tanpa ganjalan sedikitpun. Namun bagi yang belum bisa memaksimalkan akalnya untuk berfikir dengan baik, mereka akan diperbudak oleh keadaan yang ada, yang terbentuk dari pengetahuan yang didapatkan dari sebuah lingkungan dan tidak dikelola dengan baik. Sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan fana karena kita tidak memaksimalkan daya berfikir. Descartes mengemukakan manusia ada karena manusia berfikir. Asumsinya, kalau kita tidak sedikitpun berfikir sekaligus berdialektika maka kita tak lebih dari seonggok daging yang tidak bermanfaat. Tentunya kita tidak mau disebut demikian. Muhammad, Nabinya umat muslimpun berpetuah, “hari ini lebih buruk dari hari kemarin manusia yang celaka, hari ini sama dengan hari kemarin manusia merugi, hari ini lebih baik dari hari kemarin manusia beruntung”. Untuk menjadikan kita sebagai manusia yang beruntung tentunya harus memfungsikan akal sesuai dengan kapasitas pemahaman yang ada, sambil mengevaluasi apa yang telah diperbuat sebelumnya. dan menganalisa dari apa yang telah diketahui dan yang dipahami secara jelas. Sehingga kedepannya menghasilkan luaran (output) yang bermanfaat untuk perbuatan berikutnya.
Manusia mengetahui satu hal, maka idealnya satu hal itulah yang dijadikan penguasa perbuatannya. Inilah yang saya maksudkan secondary application, yaitu perbuatan yang berawal dari satu pengetahuan yang baru diketahui tanpa mempertimbangkan pengetahuan yang lain yang belum bahkan tidak diketahui. Karena sudah terjebak dalam satu bingkai pengetahuan dan telah menjadikannya sebagai dasar berfikir, biasanya kita antipati dengan pengetahuan yang lainnya. Disinilah kita melakukan sebuah kesalahan besar. Karena sudah terlalu fanatik dengan pengetahuan awal yang membuat kita terpukau.
Kita sebagai manusia hendaknya melihat berbagai sisi yang terlihat, satu pengetahuan yang kita dapatkan hendaknya kita dapatkan secara jelas dan benar–benar objektif. Jika tidak, bersiap–siaplah menjadi seorang pecundang dimanapun kita berada. Sun Tzu beranggapan kalau kita mau memenangi semua pertempuran, syaratnya adalah tahu persis kemampuan kita, tahu persis kemampuan dari lawan, dan tahu persis medan pertempuran yang ada. Sebuah teori yang sangat rasional. Sebab apabila kita tidak mengetahui segala sesuatunya secara objektif, maka kesimpulan yang akan didapatkan akan kurang persis. Bahkan bisa sangat bertolak belakang, akibat apriori yang dahsyat. Disini dituntut kehati–hatian kita sebagai manusia berfikir. Namun jika kita mengetahui banyak hal secara jelas dan lugas, dengan terus menelaahnya secara kritis dan tidak apriori mudah–mudahan kita akan menemukan apa yang kita cari dan yang paling kita harapkan serta menjadi standar kita dalam berbuat. Yang membuat kita tak mudah taklid atau fanatik pada suatu hal yang akan membuat kita terjerumus dalam kebodohan. Inilah yang menjadikan kita manusia yang sempurna dengan menemukan sesuatu yang sesuai dengan harapan untuk berbuat secara ideal (Primary application).
Kita sebagai mahasiswa yang pembelajar tentunya akan sangat banyak input yang kita terima. Dari lingkungan (baca:pemahaman) satu ke lingkungan lainnya. Bagi yang berkeyakinan, pegang keyakinan kita dan cobalah pahami. jika tak tergali (terpahami dengan baik), cari sebuah pemahaman baru sembari membandingkan dengan pengetahuan yang anda dapatkan sebelumnya yang membuat anda tergali, kemudian cobalah terapkan dan jadikan standar dalam berbuat. Mudah–mudahan kita tidak lagi terjebak dalam secondary application, melainkan Primary Application yang kita sadari. Sesungguhnya kita telah menjadi manusia yang beruntung seperti apa yang difatwakan Muhammad SAW.
Hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui.


Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

Feature

TAK HIJAU LAGI KAMPUSKU

Oleh : Berlianto


Terdengar suara gergaji meraung-raung dan gemuruh pohon tumbang. Ada apa gerangan? hatiku membatin. Langkah kaki kupercepat menuju pelataran parkir. Iya, suara itu bukanlah dari hutan, tetapi dari pelataran parkir. Sungguh membuat suasana kuliah tidak kondusif. Sesampainya disana, aku hanya bisa terperangah melihat apa yang terjadi. Satu persatu pohon bertumbangan mencium kaki bumi. Daun berguguran. Pohon-pohon hijau yang terkadang menyejukan mataku disaat penat, mulai saat ini tak akan ada lagi. Tak ada lagi gemerisik daun-daun yang menjadi teman di tengah kejumudan kuliah. Semua itu berganti dengan puluhan batu blok.
Mataku menyapu seluruh sudut kampus. Di sebuah sudut gedung A kulihat teman-teman yang sedang, tampaknya, menikmati pemandangan tersebut. “Assalammualaikum, ada pa’an nih, kok pohon-pohon di tebangin?” tanyaku tanpa menunggu jawaban atas salamku yang membuatku tampak seperti orang bodoh. “Perluasan tempat parkir”, sahut salah seorang dari mereka. “Wah, sayang banget. Di halaman parkir belakang juga udah ditebang buat perluasan lahan parkir. Disini juga. Makin panas aja bumi ini”, aku mencerocos tanpa bisa dikendalikan. “Iya nih, udah berisik, bikin panas pula”, sahut Febri. “Ya beginilah kalo deru pembangunan udah masuk kampus”, balas Rio. Sesaat kuterdiam, anganku pun menerawang jauh ke “alam” 2 tahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu, aku hanyalah seorang Mahasiswa baru dikampus ini. Suasana saat itu sangatlah berbeda. Pohon-pohon hijau bertebaran dikampus ini, Sapuan angin di siang hari sangatlah menyejukan dan berbeda dengan daerah asalku. Di tempat asalku, pohon-pohon telah berubah menjadi bebatuan kokoh menjulang tinggi bak perlambang kemakmuran dan kemajuan pembangunan, katanya. Derasnya derap langkah pembangunan tidak lagi meninggalkan sejengkal tanah untuk rimbunnya dedaunan. Pemandangan tak berbeda juga terjadi dengan kampusku terdahulu. Tinggi gedung tinggi, memayungi setiap langkah kaki. Tak ada taman yang dapat mengayomi diri ini disaat sengatan matahari begitu terik. Hijaunya pepohonan yang rindang untuk menghirup udara bersih tiada kudapatkan. Tapi disini, ditempat ini, semua berbeda. Semarak warna hijau terhias indah. Pantaslah kiranya kalau kampus ini bersemboyan Kampus Hijau, seperti yang tertera di spanduk-spanduk penyambutan mahasiswa baru; “Selamat Datang Mahasiswa Baru di Kampus Hijau”. Rupanya, tidak hanya jas almamaternya saja yang berwarna hijau namun juga kampus ini memang di penuhi dengan hijaunya pepohonan sejauh mata memandang. Mungkin inilah makna tersirat dalam spanduk itu, gumamku dalam hati. Aku berjalan mengelilingi kampusku yang baru. Akh, sungguh nyaman suasana kampus ini. Teriknya sinar matahari pesisir tiada kurasakan. Semua itu dapat ditutupi oleh rimbunnya pepohonan di sekitar kampus.
Temanku sempat berkelakar dengan mengubah syair dari sebuah film yang sempat booming beberapa waktu yang lalu; “Berlariku ke hutan, ketemu Unila.....” Lalu kami tertawa bersama. Walaupun hanya sekedar berkelakar dan bernada satiris, gubahan syair dari temanku bila dikaji lebih jauh mengundang makna yang sangat mendalam untuk menggambarkan suasana kampus yang dipenuhi dengan rerimbunan pohon hijau yang memberikan rasa nyaman.
Namun itu beberapa tahun yang lalu. Sangat berbeda dengan kenyataan yang ada saat ini. Pohon-pohon itu sudah berkurang satu demi satu. Panas mentari pun terasa lebih menyenngat. Desau angin pun terasa panas membakar tubuhku. Dimana lagi akan ku dapatkan, merasakan desau angin yang berbisik lembut dan sejuk. Dimana lagi kita dapat bernanung disaat panas mentari menyengat. Semua itu, kini, tak lagi kudapatkan. Apakah semboyan “Kampus Hijau” masih layak disandang oleh kampus ini? Aku tak tahu. Mungkin hanya waktu yang dapat menjawabnya.
“......lestarikan alam hanya celoteh belaka.
......lestariakan alam mengapa tidak dari dulu, saja
......jelas kami kecewa...........................................” , (Iwan Fals).
Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

TIPS dan Info

TRIK CEPAT URUS KETERLAMBATAN SPP + DENDA 75 %

Oleh : Febri Kurniawan


Terlambat bayar SPP memang mebuat pusing, dan tak diinginkan sama sekali oleh kita semua apalagi harus kena kebijakan denda 75 %. Bila hal itu terpaksa harus terjadi maka yang utama kita harus tenang dan berani hadapi kenyataan bahwa kita harus membayar SPP dengan tambahan denda. Adapun trik mengurus keterlambatan bayar SPP itu sendiri, yaitu :
Pertama, kita persiapkan struk SPP semester terakhir yang kita miliki bersama surat pernyataan kesanggupan bayar SPP kena denda lalu diajukan kebagian keuangan di fakultas / PD II fakultas. Kedua mengajukan pengesahan surat tembusan untuk Kabag Keuangan Universitas yang ditandatangani oleh PD II / kabag keuangan Universitas di ruangan staff PR II Lantai 2 Ged. Rektorat, untuk mendapatkan pengesahan dari Fakultas. Ketiga, mengajukan berkas struk dan tembusan dari fakultas kepada Kabag Keuangan Universitas di ruangan staff PR II Lantai 2 Ged. Rektorat, untuk mendapatkan pengesahan dari PR II. Keempat, setelah disahkan oleh PR II kita mendapatkan lembaran persetujuan dari kabag keuangan bersama struk baru untuk diajukan kepada bank BNI unila. Terakhir kita ajukan struk baru tersebut bersama lembaran persetujuan dari universitas dan jangan lupa persiapkan juga dana untuk pembayarannya di bank BNI tersebut.
Itulah yang dapat kita lakukan jika SPP kita telat dan terpaksa harus kena denda. Jangan pernah putus asa kalu terpaksa menemui hal ini juga jangan malu dalam kepengurusannya, kalau kita sampai dipersulit dalam kepengurusdan ini ada baiknya mengadukan hal ini kepada Senat Mahasiswa Fakultas atau juga BEM Fakultas untuk dibantu.
Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

SOROS (Sorotan Sekilas)

FOSSI FH MENGGELAR GEBYAR MUHARAM 1426 H

Oleh : Berlianto

Al Wasi’i (9/2) FOSSI - FH menggelar acara, “Muhasabah Akhir Tahun”. Acara tersebut sendiri merupakan bagian dari rangkaian acara “ Gebyar Muharam 1426 H “ untuk menyemarakan tahun baru islam yang digelar mulai tanggal 9 Februari - 24 Februari 2005. Yang paling menarik dari rangkaian acara tersebut adalah diselenggarakannya Seminar Daerah dengan tema; “Pilkada Langsung:Kemungkinan Konflik, Penyebab Dan Solusinya”. Menghadirkan pembicara dari Akademisi, DPRD dan KPU Lampung. Menurut Harry Gunawan, Ketua Umum Fossi FH , dalam Gebyar Muharam ini Fossi FH mencoba untuk bermain tidak hanya ditataran Fakultas atau Fossi saja tetapi juga tataran Civitas Akademika dengan mengadakan acara- acara tersebut.
Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

Dapur Redakasi

ANTARA PISAH ATAU GABUNG


Mungkin sejenak jika kita berpikir tentang slogan bangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, sepertinya saat ini hanyalah sebuah slogan picisan saja. Persatuan ataupun kesatuan bak menjadi sebuah wacana peramai era kebebasan berbicara dan berpendapat.
Masih melekat di kepala kita ketika dahulu Timor - timur berpisah dari NKRI, untuk apa kurang lebih 20 tahun sebelumnya bangsa kita dan pihak yang inginkan referendum menyatukan diri dengan gembar - gembor demi persatuan dan kesatuan. lalu belum lagi dengan elit - elit parpol yang terkadang sering mempertontonkan kepada rakyat indonesia dengan koalisinya, perpecahannya, dan juga barisan sakit hatinya. saat ini kalau bisa dibilang, seperti dagelan diatas pun terulang kembali, beberapa tahun lalu pasca reformasi usai dwi fungsi ABRI tumbang dan ABRI berganti nama dengan TNI, berlanjut dengan pisahnya POLRI dari TNI dengan berbagai dalih yang memang positif tersebut akhirnya diterima oleh rakyat. apa yang terjadi kemudian menjadi satu tanda tanya besar bagi rakyat, kenapa TNI - POLRI digabungkan kembali dan dapatkah rakyat indonesia menerima hal itu juga.
Memang benar, bangsa kita adalah bangsa yang menanamkan tepo saliro pada jiwanya. tapi apakah selalu nrimo bagi rakyat tentang segala yang dilakukan elit terus terjadi terus menerus.
Berpikir jernih saat ini sangatlah diperlukan apalagi hal - hal yang terjadi seperti pisah lalu gabung itu adalah sebuah pemborosan terhadap anggaran negara, yang mungkin seharusnya bisa saja membiayai anak- anak yang putus sekolah.maka ada baiknya pola pikir kita harus lebih berkembang lagi tentang apa yang terjadi kemudian dari perbuatan yang dilakukan sekarang.
Redaksi

Laporan Utama

SPP GRATIS BAGI MAHASISWA ACEH

Oleh : Tery Jakson


WEhH ( ) Rektorat Unila memberikan kebijakan bagi Mahasiswa asal Aceh yaitu berupa pembebasan SPP pasca Bencana Nasional Tsunami pada akhir Desember tahun lalu. Dari data yang diperoleh redaksi dari pelbagai sumber tercatat ada sekitar 37 Mahasiswa yang berasal dari Aceh (Lihat Kolom). Selain itu juga, adanya prioritas kepada Mahasiswa asal Aceh untuk mendapatkan beasiswa bagi mereka yang memiliki nilai baik.
Sedangkan menurut Dedi salah satu mahasiswa FH asal Aceh, ”Program ini setidaknya bisa meringankan beban yang ditanggung Mahasiswa asal Aceh pasca Tsunami, kami juga berharap Program ini dapat dilaksanakan secepatnya, karena program ini akan sangat membantu”, ujarnya kepada WehH.

FAKULTAS JUMLAH MAHASISWA
FH 2
FT 15
FE 3
FISIP 2
FP 11
FKIP 1
FMIPA 3



Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

Rehat

MERDEKA DAN PESTA

Oleh : Wahyu Heriyadi

Apa jadinya bila para sufi berpesta di lampung? Mungkin jawabnya pementasan puisi yang berjudul pesta para sufi yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKM BS) Universitas Lampung bekerja sama dengan Komunitas Berkat Yakin (KoBer) di Pusat Kegiatan Mahasiswa, jumat malam, 3 Desember 2004. Sufi sendiri berarti woll, karena pakaian yang kerap kali digunakan oleh orang orang tersebut terbuat dari wool. Sufi sendiri dianggap dan dituding sebagai faktor kemunduran islam ketika Eropa mengalami zaman pencerahan, dikarenakan praktiknya yang terlalu absurd atau postrealitas. Sufi lekat sekali dengan ajaran tasawufnya, sementara kalangan lainnya mengharamkan praktik tersebut.
Jalalludin Rumi, salah seorang maestro sufi, sebelumnya adalah seorang yang taat akan hukum dalam menjalankan ibadah secara tekstual, kemudian merasakan pencerahan sufinya setelah kedatangan seorang darwis dan mendekam dikamarnya selama beberapa purnama dan merasakan ibadahnya secara kontekstual. Dan menimbulkan mitos mitos irasional tentangnya.
Pesta para sufi yang merupakan pementasan puisi yang dibacakan oleh seniman-seniman lampung dari Komuntias Berkat Yakin yang bekerja sama dengan UKM BS menghadirkan Ari Pahala, Iswadi Pratama, Jimi Maruli, dan dua seniman lainnya dimana salah satunya menjuarai peksiminas kemarin yang diselenggarakan di Lampung, dan juga Muhamad Yunus yang mementaskan monolog berjudul merdeka.
Dengan kerendahan hati, Iswadi Pratama membawakan puisi puisinya, berbeda dengan Ari Pahala membawakan puisinya dengan gaya riang dan kocak, sementara Jimi Maruli ketika membawakan pusinya terganggu dengan adanya deringan HP nya dan kemudian melakukan pembicaraan.
Musik pendukung yang mungkin bisa disebut sebagai musikalisasi puisi, nama yang lebih akrab daripada puisi musik atau musik puisi, atau juga mungkin puisi yang diiringi musik atau bahkan musik yang mengiringi puisi ( ? ). Dengan irama rock and roll, dan juga blues, dapat dikatakan memperindah atau mungkin mengganggu? Terserah pendengaran anda yang menafsirkannya. Yang menarik adalah monolog yang berjudul Merdeka, seorang bernama Merdeka, dibawakan secara sukses oleh Muhammad Yunus, ini terlihat dengan tawa lepas dari penonton, dan ketika ada kesalahan yang mungkin disengaja atau mungkin tidak disengaja, dapat dengan mudah mengantisipanya sebagai sebuah lelucon.
Monolog ini berkisah tentang kesialan perjalanan hidup seorang yang bernama Merdeka, dimulai dari sekolahnya yang amburadul, pekerjaan yang kacau, kondisi masyarakat yang seakan melecehkan kemerdekaan berpikirnya, dan juga percintaan yang berakhir dengan kesialan, serta konsultasinya dengan paranormal yang malah membuatnya menjungkirbalikkan makna merdeka.
Sehingga semua tertuju pada makna merdeka, dan kemudian merdeka sendiri menyalahkan secara teks nama merdeka yang melekat pada dirinya. Sementara ayahnya memberikan teks Merdeka yang
Melekat pada diri Merdeka dengan Kontemplasi konteks Merdeka. Meskipun setelah mengganti nama kehidupannya lebih baik, namun konteks merdeka telah hilang pada diri Merdeka, sehingga timbul kerinduan dan anaknya diberi nama Merdeka!


Buletin WEhH Edisi V-Desember 2004

Features

Kawanku, Marbot

Oleh : Wahyu Heriyadi

Ketika aku berjalan menuju gedung A FH Unila melewati belakang gedung C, aku melihat sebuah mushala, yang memang baru!, mushalla itu bernama Attaubah. Dahulu disekitar gedung itu hanyalah sumur tua dan sepetak tanah kosong, kini berubah menjadi mushala, kemudian aku melihat ke arah gedung A belakang masih ada warung, dahulu di sebelah warung itu hanyalah wc belaka yang dikelola oleh pemilik warung itu, kini menjadi tempat tinggal kawan - kawan yang diamanahi untuk memakmurkan mushala itu. lalu ketika wajahku berpaling ke arah yang berlawanan, disana juga terjadi perubahan, menjadi tempat wudhu, tempat itu dibagi dua, yang satu untu laki laki dan satu lagi untuk perempuan.
Aku pun teringat, seorang kawan yang mengikuti seleksi menjadi penjaga mushala itu, kawan kawan biasa menyebut mereka marbot. Dengan seleksi yang lumayan ketat para calonnya harus mengikuti tes mengaji qur’an, yang akhirnya kawanku itu menjadi salah satu penjaga disana. Dari kelulusannya menjadi marbot itu dia pun mendapatkan beasiswa setiap bulannya, sungguh enak!pujiku kepada kawanku itu. Namun tanggung jawabnya besar sekali.
Kawanku itu dan beberapa rekanannya yang diamanahi itu, memiliki tanggung jawab untuk memakmurkan mushala. Kegiatannya sendiri dimulai dari subuh hingga isya', cobalah tengok atau shalat subuh disana, mereka pasti ada meskipun hanya mereka yang shalat subuh disana, aku sendiri pernah menengokinya ketika waktu subuh tiba, di saat aku pulang menginap di PKM Unila. hal tersebut pun kutemui juga pada waktu siang atau sore bahkan malam hari, mereka juga ada disana. Yang jelas mereka menginap disana, termasuk kawanku itu. Ya, sesekali dia pulang ke kostan dan kembali lagi ke mushalla ketika waktu shalat.
Bersamaan dengan mushalla itu berdiri, suasana qultum pun menggeliat di masjid itu. Biasanya dilakukan sebelum shalat dzuhur, kawanku itulah yang menjadwalkan orang yang akan kultum disana. Dimulai dari dosen-dosen hingga mahasiswa sendiri memberikan nasihat-nasihat atau petuah petuah religiusnya.
Siang hari ketika waktunya shalat, mushala itu penuh sekali, terlihat banyak orang yang shalat berjamaah disana, hingga shalat jamaahnya pun dilakukan beberapa kloter, rata rata dosen dan mahasiswa FH yang berjamaah disana, namun tidak menutup kemungkinan dari mahasiswa fakultas lain melakukan shalat berjamaah di mushala itu.
Untuk malam hari, banyak mahasiswa ekstensi yang shalat disana memang pada waktu maghrib FH Unila terasa lebih ramai, ramai dengan motor yang diparkir juga mobil mobil, sungguh ramai sekali. Namun kawanku itu pernah mengeluh ketika malam hari ada yang mengganggu, pintu di kamar para penjaga mushala itu pernah beberapa kali diketuk dan digedor orang orang iseng, dan itu dirasakan menganggu sekali. Aku pernah menyarankan untuk membawa senjata tajam untuk berjaga jaga, namun dirasakannya tidak perlu.
Memang ada enaknya menjadi seperti mereka, dapat uang bulanan, tempat tinggal gratis, listrik gratis, meskipun ruangan kecil itu ditempati sekitar tiga orang, belum lagi ketika kawan kawan yang menyempatkan diri untuk bermain atau bermalam disana, pasti dirasakan di kamar itu sangat kesempitan dan pengap. Namun yang pasti dapat membanu untuk kehidupan mahasiswa secara finansial meskipun hanya sedikit orang yang dapat terseleksi menjadi marbot, apakah anda berminat menjadi marbot?

Lembar Tinjauan

Penilaian Tingkat Kesehatan Bank

Oleh : Febri Kurniawan

Usai krisis ekonomi melanda negara kita, situasi perbankan Indonesia memang selalu mengalami keresahan akan tidak menetunya posisi kebijakan pemerintah terhadap penilaian kesehatan suatu bank.
Hal ini pun sangat - sangat juga dirasakan oleh para nasabah bank yang terkadang merasa dibingungkan oleh posisi keberadaan bank-nya, apakah bank yang mereka percaya termasuk sehat ataukah bermasalah?
Hal tersebut pun beberapa bulan yang lalu telah dijawab oleh Bank Indonesia yang dalam hal ini sebagai bank sentral di negara ini dengan mengeluarkan surat edaran Bank Indonesia nomor 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 april 2004 perihal sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum.
Yang juga menggembirakan bagi kalangan perbankan dalam negeri adalah Surat Edaran ini berlaku juga bagi kantor cabang bank asing yang beroperasi di Indonesia.
Adapun tata cara penilaian tingkat kesehatan bank umum yang digunakan oleh Bank Indonesia sendiri berdasarkan : Pertama, berdasarkan formula dan indikator pendukung penilaian setiap komponen berpedoman kepada matriks perhitungan/ analisis komponen setiap faktor.
Kedua, hal yang pertama tersebut dilakukan proses analisis untuk menetapkan peringkat setiap komponen berpedoman pada matriks kriteria penetapan peringkat komponen.
Ketiga, dilanjutkan dengan proses analisis untukmenetapkan peringkat setiap faktor penilaian dengan berpedoman kepada matriks kriteria penetapan peringkat faktor dan hal itu sendiri dilakukan setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas matrealitas dan signifikasi dari setiap komponen.
Keempat, melakukan proses analisis untuk menetapkan peringkat komposit Bank dengan berpegangan pada matriks kriteria penetapan peringkat komposit dan hal tersebut pun dilakukan setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas matrealitas dan signifikansi setiap faktor.
Kelima, dari ketiga tata cara (ke-2,3,dan 4) diatas untuk penetapan peringkat Bank menggunakan kertas kerja. Keenam, sesuai dengan pasal 8 ayat 1 Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 tgl 12 Apr 2004, Bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara triwulan untuk posisi bulan maret, juni, september, dan desember.
Apabila diperlukan BI meminta hasil penilaian tingkat kesehatan bank tersebut secara berkala atau sewaktu - waktu untuk posisi penilaian itu, terutama untuk menguji ketepatan dan kecukupan hasil analisis bank.
Penilaian tingkat kesehatan bank diselesaikan selambat - lambatnya 1 bulan setelah posisi penilaian atau dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh pengawas bank terkait.
Sedangkan untuk faktor penilaian kesehatan Bank, secara garis besarnya terdiri dari :
1 . Permodalan (capital)
2 . Kualitas aset (asset quality)
3 . Manajemen Bank (Bank Management)
4 . Rentabilitas (earnings)
5 . Likuiditas (liquidity)
6 . Sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk).
(dari pelbagai sumber/mjl-Ombudsman)
Buletin WEhH Edisi V-Desember 2004

DPO


DILEMATIS.. OH DILEMATIS.. WAHAI LIDYA

Oleh : Rio Handoko

Haloooooooooooo, watemince ciau lidya (mandarin-red), halo nama saya Lidya begitulah mahasiswi FH’01 jurusan Hukum Internasional ini menunjukkan kebolehannya berbahasa mandarin.Lengkapnya Lidya Anggun lahir di BandarLampung 10 september 1983, dia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Iskandara Hifnie - Ibu Tati Rosini.
Lidya sendiri adalah tamatan SMAN 2 Bdl. Dalam bidang organisasi Ia aktif dalam kegiatan internal ataupun ekternal kampus. Organisasi eksternal yang Ia ikuti adalah sebagai anggota dari LSM Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (HUMANIKA), selain itu juga ia mengikuti les bahasa mandarin.
Di organisasi Internal ia sebagai anggota UPT LEC - FH Unila, UPT PERSIKUSI, anggota HIMA HI - FH Unila, pernah juga dipercaya sebagai Ketua Pelaksana acara Pekan Semarak Hukum 2004 yang terbilang sukses dan kesuksesan itulah yang mengantarkannya menjadi Wakil Gubernur BEM - FH Unila untuk masa jabatan 2004/2005 mendampingi Andri Firmansyah (fh’01). Puncak prestasi dalam berorganisasi serta bidang akademiknya Lidya sendiri dirasakan diakhir tahun ini yakni dengan telah berakhirnya masa perkuliahannya yang hanya 3 tahun 3 bulan dan mampu menyelesaikan skripsinya bulan desember, tepatnya tanggal 23 ini dia tercatat sebagai salah satu mahasiswa FH yang mendapatkan gelar wisudawan terbaik dengan IPK 3,59. Ia pun berencana setelah masa studinya di FH Unila usai ia akan mengambil kuliah S2 jurusan hukum bisnis dan “pengennya sih dapat beasiswa dan ga mau terus ngoyo untuk cari kerja nantinya”, ujar Lidya kepada reporter WehH. Lebih lanjutnya, berikut hasil petikan obrolan WehH dengannya di salah satu sudut gedung B FH Unila.
Apa tanggapan Lidya sebagai seorang Wagub BEM FH Tentang fasilitas di Fakultas Hukum?
“ untuk fasilitas masih kurang banget, terutama WC yang tidak memadai dan bikin perempuan susah !” jawabnya seraya kesal menanggapi tentang WC. “Ruang kuliah sendiri saat ini masih bermasalah seperti bangkunya yang kadang-kadang kurang, ya walaupun beberapanya telah memadai di fakultas ini, seperti jurusan perdata juga HI dan berharap bisa nyusul ke jurusan lain”, tambah Lidya atas pertanyaan reporter WEhH.
Menurut pendapat Lidya, gimana sih tentang minat jurusan HI di FH Unila saat ini?
“yang jelas sayang banget, mahasiswanya masih sedikit sehingga menjadi kurang berkembang”. Melihat hal tersebut lidia sebagai wakil gubernur mengatakan “bahwa kita seharusnya bisa kasih masukan keatas (dekanat-red) hanya saja untuk tataran disini masih jelas sekali adanya batas antara mahasiswa dengan dosen jadi menurutnya kita masih kaku untuk meminta terutama kepada Pak Adius (Dekan FH-red) untuk lebih lincah lagi mencari pemasukan buat fakultas dalam rangka otonomi kampus demi kesejahteraan dosen dan memperbaiki fasilitas yang ada di fakultas ini”. Sambil mencontohkan fisip yang telah membangun satu gedung baru.
Lalu saran dari Lidya sendiri untuk masalah tersebut, seperti apa?
“Untuk menghilangkan garis batas Itu kita harus sering melakukan pendekatan keatas dan yang tua sendiri juga harus mengerti dan mengayomi serta memberi arahan dan tidak otoriter”, jawabnya kepada WehH.
Dia sendiri merasa menyesal dan diluar kehendaknya lulus pada bulan Desember ini. karena ia hanya baru 3 bulan menjabat Wagub di BEM-FH dan sekarang harusmeninggalkan BEM untuk menanggalkan status mahasiswanya. “jika bukan karena desakkan dan merasa ingin membahagiakan orang tua untuk cepat lulus, mungkin tak akan dilakukan”, tegas Lidya.
Jadi dilema juga dong lulus cepat ?
“dilema banget!”.
Trus gimana sih tipsnya buat cepet lulus ?
“kunci utamanya rajin kuliah dan kalau ada libur yang kadang menimbulkan rasa malas, maka harus dilawan dengan motivasi yang kuat dari dalam diri kita. Juga pintar -pintar nyari dosen pembimbing dan jangan yang terlalu sibuk”.
Oh ya, gimana sih tanggapan Lidya tentang keprihatinan kita sebagai mahasiswa FH atas banyaknya kawan kita yang kena SK Pra - DO ?
“ kayaknya SK Pra DO itu sendiri masih banyak terjadi kesalahan informasi dan dia mengusulkan agar pengurusannya di kolektifin aja, nanti biar BEM yang mengurus atau memfaasilitasinya”, tegas Lidya kepada WehH dan supaya diumumkan WehH kepada seluruh mahasiswa FH tentang SK Pra DO tersebut.
Buletin WEhH Edisi V-Desember 2004