Wahana Ekspresi Mahasiswa Hukum

Friday, September 08, 2006

Lingkungan Yang Terabaikan : Inkonsistensi Pemerintah?

Laporan Utama

Lingkungan Yang Terabaikan : Inkonsistensi Pemerintah?

Oleh : Bugi Purnomo Kiki dan Wahyu Heriyadi

Pemerintah Indonesia pada tanggal 11 Maret 2004 kemarin akhirnya mengeluarkan Perpu No.1 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Dengan dikeluarkannya Perpu yang mengijinkan dilakukannya kegiatan penambangan di wilayah konservasi ini, maka semakin banyak saja desakan dari masyarakat yang menentangnya. Di Unila sendiri juga terjadi penentangan terhadap Perpu tersebut, seperti yang dilakukan oleh Forum Konservasi Unila (FKU) yang terdiri dari berbagai elemen organisasi kampus. “kami menolak Perpu itu (Perpu No.1 tahun 2004-red) dan menuntut agar pemerintah segera mencabutnya kembali,” kata Yudistira, ketua umum Mahusa, salah satu KPA UNILA bagian dari FKU. Untuk sekarang ini, FKU sendiri sedang membangun jaringan aliansi dan melakukan propaganda isu yang tujuannya membentuk opini masyarakat umum bahwa wilayah konservasi akan terancam, serta mengajak masyarakat umum untuk mengkritisi dan menolak Perpu No.1 tahun 2004.
Perpu itu sendiri, kata Yudistira, walaupun hanya menambah dua pasal saja dari UU No.41/1999 yaitu pasal 83 a dan 83 b itu memberikan peluang untuk terbukanya kegiatan pertambangan di daerah konservasi / hutan lindung yang sebelumnya dilarang. Masih menurut Yudistira, alasan pemerintah mengubah pasal atau undang-undang diatas oleh perpu No.1/2004 dikarenakan pemerintah sebelum UU kehutanan ditetapkan telah melakukan kontrak karya dengan para investor asing, “dengan adanya perpu ini maka pemerintah memberikan kepastian hukum untuk dapat melakukan kegiatan penambangan di daerah hutan lindung hingga jangka waktu kontrak itu berakhir,” ungkap Yudis, sapaan akrabnya di kampus.
Ketika dimintakan pendapatnya tentang dampak yang akan terjadi bila penambangan itu sampai dilakukan, Yudistira berpendapat bahwa “pertambangan akan memberikan akses ke wilayah konservasi (hutan lindung) sehingga mempermudah illegal logging (penebangan liar-red) dan juga berakibat terancamnya flora dan fauna di daerah koservasi, dan yang paling parah adalah pencemaran limbah dari penambangan.”
Sedangkan, menurut Heryandi S.H. M.H, dosen hukum internasional yang bergelut dibidang hukum lingkungan, Saat dimintakan komentarnya mengenai Perpu ini mengatakan “logika hukum itu sudah jelas bahwa UU lingkungan, yang disarikan dari deklarasi Stockholm, merupakan UU payung (umbrela wet) sehingga mempunyai konsekuensi yakni seluruh ketentuan yang berhubungan dengan hutan harus tidak bertentangan dengan UU No.41 tahun 1999.” Di Indonesia, untuk sebuah peraturan jenis Perpu pengeluarannya itu hanya bisa bila negara itu dalam keadaan darurat atau krisis atau mendesak, sedangkan untuk konteks lingkungan, walaupun sudah dalam keadaan mendesak, Perpu itu hanya bisa di keluarkan kalau memang orientasi atau substansi dari Perpu itu mengatasi masalah ekologi / lingkungan, sedangkan bila sebaliknya maka lebih baik jangan sama sekali, ungkap nya saat di wawancarai di ruangannya. “Masalah lingkungan itu tidak bisa ditawar-tawar karena dampaknya bisa mempengaruhi beberapa generasi,” tambahnya.
Saat ditanyakan mengenai kebijakan pemerintah di dalam lingkungan hidup di Indonesia ini, Heryandi sudah “meneriakan” dari dulu agar pemerintah menitik beratkan kebijakan pembangunannya pada konsep ekologi yaitu bagaimana negara menyeimbangkan antara pembangunan yang menguntungkan tetapi tidak merusak lingkungan hidup. “Kita tidak bisa mengatakan demi pembangunan lalu menghancurkan lingkungan hidup,” ucapnya. Beliau pun menambahkan “ada beberapa cara bagaimana pembangunan itu bisa jalan tetapi tidak menghancurkan lingkungan, seperti Produksi bersih (hasil produksinya serta lingkungannya sama-sama bersih-red) maupun pembangunan berkelanjutan, hanya saja semua ini membutuhkan biaya yang tidak murah.”
Lebih lanjut Heryandi memperingatkan menyangkut Perpu No.1 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan agar pemerintah melihat-lihat dulu dimana penambangan itu dilaksanakan, karena kawasan lindung itu sangat penting fungsinya bagi ekologi, sedangkan di sisi lain sektor pertambangan sangat krusial bagi ekologi. Ketika dimintakan saran apa yang sebaiknya dilakukan oleh mahasiswa, pak Heryandi menjawab “seharusnya mahasiswa-mahasiswa pecinta alam, baik itu Mahusa, Mapala, atau yang lainnya memberikan pengertian / pendidikan kepada masyarakat sekitar daerah pertambangan / penambangan akan bahayanya kegiatan tersebut bagi lingkungan hidup.”
Semakin banyak yang menolak
Menurut data yang diperoleh tim litbang WehH, desakan protes menentang Perpu itu datang dari masyarakat dan beberapa pemerintah daerah seperti di Riau, Bandar Lampung, Banjarmasin, Samarinda, Pontianak, Palangkaraya, Surabaya, Mojokerto, Semarang, Sumbawa besar, Kendari, Makassar dan Palu, selain dari dalam negri juga ada penentangan dari luar negri yaitu sebanyak 44 negara ditambah dari lembaga PBB yaitu UNESCO telah secara resmi menentang rencana dari isi Perpu tersebut. Protes ini juga didukung oleh pendidikan tinggi Fakultas Kehutanan dari lima universitas, yaitu IPB, UGM, Universitas Mulawarman, Universitas Hasanudin, dan Unila. Sampai saat ini tercatat 6.000 kartu pos dikirim masyarakat kepada DPR-RI dan departemen terkait sebagai bentuk penolakan penambangan dikawasan lindung.

WEhH Edisi 4 Mei 2004

0 Comments:

Post a Comment

<< Home