Wahana Ekspresi Mahasiswa Hukum

Friday, September 29, 2006

FEATURES

Suara-Suara Penyelamat
Oleh : Bugi Purnomo Kiki

Suara gaung klakson kereta terdengar jelas dari pinggir rel. Semakin lama semakin jelas, menandakan akan melintasnya sebuah kereta dari arah Palembang menuju Tanjung Karang. Dari belakangku datang seorang bocah yang hendak menyebrang rel, tiba-tiba ia diteriaki dengan keras oleh tukang ojek serta ibu-ibu penjaja makanan “woi, awas kereta.” Untung saja bocah itu mendengar dan segera menghentikan langkahnya. Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang selesai kuliah, Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya lewatlah jua rangkaian kereta yang warga sekitar menyebutnya dengan nama “kereta Babaranjang.” Sebelum kereta tersebut melintas membelah jalan, banyak kendaraan yang mengalah, termasuk juga para pejalan kaki yang hendak menyebrang. Saat itu aku berpikir, bagaimana kalau bocah tadi tak mendengar suara gaung kereta dan kalau tak ada para tukang ojek serta ibu-ibu penjaja makanan? Seram aku membayangkannya.
Setelah raksasa besi itu berlalu, semuanya langsung melanjutkan perjalanannya, aku pun demikian, hanya saja aku tiba-tiba teringat sebuah peristiwa yang terjadi beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada hari Jum’at pagi di bulan Maret, ketika itu aku dengan mata kepalaku sendiri melihat tertabraknya tukang ojek di penyebrangan rel tadi, kebetulan oleh kereta Babaranjang tadi. Mungkin kalian sudah pernah mendengar beritanya dikoran-koran, tetapi bagiku peristiwa ini memiliki kesan tersendiri bagiku, yakni “manusia dimangsa oleh ciptaannya sendiri.”
Memang kejadian itu terlihat hanya sebagai kecelakaan biasa saja, seorang tukang ojek ceroboh yang membawa seorang wanita dan diantara keduanya terapit seorang anak kecil! Wanita dan anak kecil tersebut selamat, sayangnya, nasib malang menimpa tukang ojek tersebut. Kala itu sebenarnya suara klakson sudah terdengar sangat jelas, mungkin karena tukang ojek itu datang dari arah masjid sehingga tidak melihat dengan jelas datangnya kereta dari arah Palembang karena rel tersebut menikung ketika mendekati jalan raya, aku mengetahuinya karena ada disebrang jalan ketika hendak menyalakan rokok.
Kejadiannya begitu mendadak, pengendara motor itu telat menyadari akan datangnya kereta api, walaupun warga sekitar telah meneriakinya dengan segala macam ocehan mulai dari “awas mas, kereta,” “minggir, mau mati lo,” hingga “goblok, berhenti ada kereta.” Teriakan-teriakan tersebut rupanya telat membuat pemberi jasa tumpangan itu sadar, motornya telah memasuki setengah rel kereta itu dan meskipun tukang ojek itu telah sadar serta berusaha untuk mengelak namun dalam sekejap motor itu telah tertabrak dan terpental, demikian juga dengan pemberi jasa tersebut. Wanita dan anak kecil tadi sempat menghindar dengan meloncat kebelakang, dan lari histeris entah kemana tak muncul lagi. Kereta terus berlalu dengan mantap, aku berpikir “apa ini bisa disebut dengan tabrak lari?”
Semetara kedua penumpang itu lari menjauhi tempat kejadian, warga sekitar langsung mendekat karena hendak mencari korban, namun tak diketemukan, yang ada hanyalah motor itu yang terpental sekitar 10 Meter dan sedikit ceceran-ceceran darah serta sesuatu dari organ tubuh manusia yang tidak enak untuk ku sebutkan. Rupanya tukang ojek itu terseret kereta, dan mungkin masih terseret hingga Tanjung Karang, pikirku saat itu.
Sesampainya di kostan, langsung kurebahkan badanku dipembaringan yang sudah agak tipis, suasana nampak sepi dan tanpa sadar aku sedang merenungkan kejadian yang kualami barusan. Bagaimana kalau seandainya bocah tadi tetap terus berjalan menyebrangi rel? Ah, kalau gitu memang sudah nasibnya yang sial, namun seandainya saja ada yang bisa dilakukan selain suara teriakan saja, misalnya membuat plang pintu kereta agar bisa menutup jalan jika ada kereta yang hendak lewat. Takdir itu memang ditangan-Nya, namun kurasa manusia juga memiliki kebebasan untuk menentukan langkahnya, langkah untuk membuat plang pintu kereta.
Sebenarnya, setahuku, Perum KAI lah yang bertanggung jawab terhadap ketersedian plang pintu kereta tersebut, tetapi jika melihat kejadian yang tadi ku alami, sepertinya aku lebih menghargai suara-suara teriakan dari pinggir jalan.
Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home