Wahana Ekspresi Mahasiswa Hukum

Friday, September 29, 2006

Resensi Buku

Hukum Konstitusi Masa Transisi : Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik

Oleh : Ade W. Saputra

Sebuah negara yang sedang mengalami transisi demokrasi, perubahan arus cepat merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena negara tersebut masih mencari sebuah konsep ideal pondasi sebuah negara. Transisi politik menuju demokrasi selalu menempuh jalan panjang dan berliku, tak jarang dalam suasana yang penuh ketidakpastian. Bagi sistem pasca otoriter, robohnya bangunan negara, atau sekurang–kurangnya ketika bangunan negara tidak lagi dapat memainkan perannya dengan baik, ditengah kegalauan dan harapan masyarakat pada bangunan yang menggantikannya, amat memerlukan pengelolaan sistem yang luar biasa kompleks. Pengenalan institusi–institusi baru untuk menggantikan yang lama merupakan tahap yang harus dilalui sebelum memasuki konsolidasi demokrasi.
Kapan konsolodasi itu tercapai tak seorangpun tahu. Secara normatif, rumusan itu mungkin hanya akan berbunyi ketika tidak ada seorang pun yang merasa memiliki alternatif bagi demokrasi. Pada prakteknya, tidak mudah. Semuanya merupakan proses yang niscaya berlangsung di dalam koridor ketentuan–ketentuan demokratik, termasuk hukum dan perundang–undangan.
Gejala yang ada, ilmu hukum tata negara yang dikembangkan tengah mengalami defisit berkepanjangan disebabkan kurangnya pengembangan aspek teoritis, akademis dan praksis yang komunikatif. Kemudian gagalnya komunikasi melalui “buku hukum yang akademis” berdampak negatif bagi hukum konstitusi pada masa transisi. Misalnya kecenderungan untuk kembali ke masa otoriter dan ilmu hukum yang bercampur dengan norma dan dogma. Bila tidak dimulai maka dikhawatirkan dapat berakibat pada masyarakat yang cenderung akan mendapatkan kenihilan dari tembok akademis dan dis-informasi tentang peran hukum diruang publik. Sebab ilmu hukum yang normatif tidak identik dengan dogmatis karena dogma hukum merupakan bagian dari pengembangan keilmuan normatif. Normatif bermakna pengembangan ilmu berdasarkan fakta, kenyataan parsial, praksis komunikasi dan refleksi epistimologi. Sekilas inilah gambaran apa yang coba dikritik oleh pengarang buku ini. Yang mencoba menyajikan fenomena alternatif akan kenyataan yang ada dan Harapan akan sebuah konstistusi pada masa transisi yang mengakomodasi setiap keinginan berbagai elemen. Kemudian apa saja yang memungkinkan tidak dibutuhkannya konstitusi pada masa transisi akan dibedah secara tajam melalui pendekatan teori–teori yang dipakai oleh Freud. Penulis juga bermaksud menyajikan kepada anda yang meminati kajian lintas ilmu yang beranjak dari ilmu hukum dan mengembangkan penelitian ilmu hukum bersama dengan ilmu–ilmu sosial humaniora lainnya. Selamat membaca!!!
***
Judul Buku: Hukum Konstitusi Masa Transisi : Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik IdeologiPenulis: Anom Surya PutraPenerbit: Nuansa Cendekia, Bandung, Cetakan I, November 2003Tebal: 256 halaman

Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

1 Comments:

  • Terimakasih atas resensinya. Amat menyentuh. Selama ini saya "amnesia" atas isi buku itu. Aktivitas terakhir, saya menulis di jurnal mahkamah konstitusi. Lebih jauh, sedikitnya saya mulai menekuni Habermas. Validitas norma & fakta, di hukum modern, sudah tidak layak lagi menjelaskan konstitusionalisme. Teori Wacana Hukum, dg rasionalitas komunikatif, menyegarkan Ilmu Hukum Indonesia agar tidak memeluk saintisme & dogmatisme.

    salam hormat,
    anom

    By Anonymous Anonymous, at 7:01 PM  

Post a Comment

<< Home