Wahana Ekspresi Mahasiswa Hukum

Friday, September 29, 2006

Rehat

Nonton Film, Kritis

Oleh : Wahyu Heriyadi


Film, pandangan umumnya sebagai alat penghibur, ditonton bersama-sama dengan keluarga, teman, atau pacar. Namun, apabila membaca literatur yang mengkaji film sebagai basis kajiannnya, maka akan lain, film akan dilihat sebagai sesuatu yang rumit, mungkin juga akan serumit rumus matematika. Berkaitan dengan dominasi, hegemoni, bahkan kandungan ideologi yang terdapat dalam film tersebut, patut ditelaah. Meskipun film biasanya mengangkat fenomena dari kejadian masyarakat pada saat ini, bahkan juga sebagai politik identitas dari kaum minoritas, yang kemudian dituangkan menjadi gagasan dalam film tersebut.
Seperti yang dilakukan oleh mahzab Frakfurt, dan juga mahzab Birmingham yang dengan cultural studiesnya, bagaimana mereka memandang film, terlebih lagi film yang diproduksi oleh film Hollywood, sebagai rangkaian proses hegemoni dan ideologisasi. Dan juga yang dilakukan oleh Aa Gym dan kawan-kawannya yang sangat peduli pada moral dan ahlak bangsa, memandang film sebagai proses perusakan ahlak, terlebih lagi pada kasus film Buruan Cium Gue. “Untuk film tersebut diibaratkan saya melihat Duren busuk, untuk apa saya memakannya, dilihat saja sudah busuk dan bau,” begitulah kira kira Aa Gym pernah berkomentar dalam sebuah tayangan berita di televisi mengenai film tersebut.
Film-filmnya Selly Marcelina, ketika masih eksis dan beliau berkata bahwa “kalau bukan kita siapa lagi yang akan memproduksi film”, dia berkata begitu di saat film-film Indonesia tidak ada di pasaran. Selly Marcelina, dengan film-film hotnya. Pada waktu itu ada di bioskop-bioskop dan lulus sensor film, dan banyak masyarakat kelas menegah ke bawah menontonnya. Saya juga pernah menontonnya, salah satu filmnya menceritakan tentang pergaulan bebas dan berakhir dengan akibat yang harus ditanggung dengan pergaulan bebas, yaitu penyakit, kita menikmati tontonan itu dari mana? Proses film itu berlangsung? Atau membaca di akhirnya? Jawabannya pengarang telah mati, begitu menurut Roland Bartes.
Disisi lain, film-film bangkit kembali setelah lama terpuruk dan mengalami stagnasi dalam produktivitas, meskipun filmnya selly Marcelina tetap eksis, baru setelah Petualangan Sherina, gelombang besar-besaran produksi film bangkit kembali. Hal tersebut bukan sebuah proses sederhana, dimulai dengan komunitas-komunitas film maker dan film-film indie yang beredar di pasaran, seperti film Bintang Jatuh yang menjadikan bintang filmnya dan sutradaranya menjadi dikenal dan kemudian Ada Apa Dengan Cinta menjadi kisah semua remaja di Indonesia, bahkan diputar di Australia. Remaja sebagai subkultur, kisah cintanya menjadikan trade mark di pasaran saat ini, pasti akan laku, ditonton, begitu juga merambah di kancah sinetron.
Dan film maker saat ini sangat berani dalam mengangkat fenomena yang ada, meskipun hanya minoritas, dalam mengangkat cerita cinta tentang gay dan lesbi, sebuah politik identitas! Kita bisa melihatnya di film Arisan, dan entah film apa lagi nanti, bagaimana sikap kita? Apakah harus seperti para pembuat film dokumenter yang membuat counter dari hegemoni militer baik di jaman orde baru dengan membuat film dokumenter tentang pelanggaran HAM oleh militer?
Edisi 6 Tahun Ke II / Februari 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home