Wahana Ekspresi Mahasiswa Hukum

Friday, September 29, 2006

KOLOM

Malu Dong

Oleh Rio Handoko
Sebuah pengantar dari Lorong
gedung B
Sering kali tanpa kita sadari kita menjadi malu, pada diri sendiri, teman, orang tua, pacar barangkali?. Malu memang manusiawi, muncul dengan sendirinya dari dalam hati. Apa yang jadi soal? pertanyaan ini sering pula muncul. Jawabnya tidak ada, kalau kita menempatkan rasa malu dalam porsi dan tempat yang tepat. Namun porsi dan waktu yang tepat inilah yang menjadi soal. Kita seringkali salah dalam menempatkan rasa malu. Bertanya pada dosen -yang menjadi hak kita- dalam perkuliahan membuat kita malu, (ditertawakan teman, takut malah salah, atau segudang alasan lainya yang tidak masuk diakal).
Konon, malu merupakan ciri kerendahan hati, sikap berhati-hati yang merupakan cermin budaya kita. Tapi tentu kita semua setuju, bukan disitu porsi dan tempat yang tepat, tidak pada hal yang menjadikan kita menjadi dewasa dalam arti yang positif. Malu seharusnya muncul dalam diri orang yang tidak mau berusaha dalam hidupnya, dalam diri yang selalu iri pada kesuksesan orang lain, benalu. Tapi apa yang terjadi? Malu justru mulcul ketika kita hendak berusaha untuk memperbaiki diri, minta maaf, mengakui kesalahan, bahkan untuk bertobat pun kita sering dihinggapi rasa malu. Aneh.
Lebih aneh lagi yang sedang terjadi sekarang ini. Orang sibuk berbondong-bondong untuk bisa menjadi koruptor -menikmati hasil keringat kaum miskin, petani, buruh, tukang becak, abang somai dan abang-abang lainnya yang hidupnya diujung tanduk para penguasa- tanpa ada rasa malu sedikitpun, bahkan mungkin bangga dengan harta hasil rampasannya, mobil mewah, rumah bertingkat, tanah luas, simpanan untuk tujuh turunan, tak peduli lagi hak orang lain, karena hidup cuman sekali untuk kemudian mati. Sikat terus apa yang bisa disikat, rampas semua yang bisa dirampas, perdaya semua yang bisa dipedaya selagi berkuasa, hutan kalimantan, kayu dan emas papua, batubara sumatera, minyak ambalat, apalagi yang tersisa? Suburnya tanah jawa, embat, apalagi? Perkosa semua hak petani kalau perlu calon jemaah haji. Orang bilang ini jaman edan kalau tidak edan ketinggalan jaman. Dandanan seksi, pakaian mini, -kalau perlu sedikit berani- menjadi tontonan sehari-hari, di mall, tempat hiburan, kantor, bahkan di kampus demi untuk dibilang trendy. Edan. Mahasiswa sudah lupa dengan kewajibannya untuk menuntut ilmu, memperjuangkan kebenaran, dan mengabdi pada rakyat, padahal kita semua tahu bahwa biaya yang dibebankan kepada mahasiswa adalah hasil pengurangan dengan subsidi pemerintah, dari uang rakyat.
Dan kita hanya tahu; datang kekampus, dengerin dosen ngomong, ngerjain tugas, uas, selebihnya kita nampang, pacaran, ngobrol ngalor-ngidul. Mana Organisasi? Mana Diskusi? Organisasi telah mati, terkubur disudut mall, Diskusi? Diganti obrolan tentang gossip terkini. Lengkaplah sudah penderitaan negeri ini.
Mulai hari ini, ya ini adalah saat yang tepat untuk memulai segala sesuatu menjadi lebih baik, mulai menerima kekalahan sebagai pembelajaran dan membangun kembali semangat berjuang melawan ketidakadilan. Bukan malu untuk maju, karena malu hanya untuk mereka yang kalah melawan nafsu, terombang-ambing dalam semunya dunia. Dan untuk mereka yang berjuang walau akhirnya harus kalah, salut. Lemah jarimu mengepal…


Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home