Wahana Ekspresi Mahasiswa Hukum

Friday, September 29, 2006

OPIUM (Opini Umum)

Pejabat Daerah: Seleksi atau Eleksi
(satu dari dua tulisan)

Oleh : Yhannu Setyawan
Staf Pengajar FH Universitas Lampung.

Power tends to corrupt, absolute power, corrupt absolutely, ini ungkapan lama yang sepertinya masih tetap relevan, bahkan di era desentralisasi. Padahal, desentalisasi dibuat salah satunya agar meruntuhkan absolut power kepala negara, dengan membaginya ke kepala-kepala daerah. Namun nyatanya, lahirnya UU No 32 tahun 2004 yang merevisi UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pelaksanaanya justru lebih tampil sebagai distribusi absolut power kepada kepala daerah. Kita menyebutnya sebagai “raja-raja kecil”.
Salah satu isu yang menarik pergunjingan para PNS akhir-akhir ini: mutasi jabatan. Konon menurut Syarif Makhya, “virus” mutasi ini telah membuat stres jajaran pegawai Pemda Lampung yang dihantui ketidakpastian aturan main penjenjangan karir, alih-alih mencoba melakukan protes atau mengajukan usul keberatan (Lampost, 14/3/2005).
Untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, mau tidak mau kita membutuhkan PNS daerah yang profesional, bertanggungjawab, jujur dan adil. Untuk mendapatkan sosok PNS semacam ini, jalan yang harus ditempuh tak lain adalah melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi dan sistem karir, dengan titik berat pada sistem prestasi kerja.
Tentu saja “tangan” yang mampu membentuk sosok PNS daerah yang profesional semacam ini, adalah pejabat daerah; seseorang yang karena jabatan atau kewenangannya mampu untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai negeri, mulai dari Sekda sampai “tukang fotokopi”.
Rekayasa pembentukan aparatur pejabat daerah yang ‘digdaya’ oleh seorang kepala daerah, seharusnya tidak semudah membalik telapak tangan. “Komunitas terbatas” ini tentu memiliki ke-maqom-an tersendiri, karenanya untuk mendapatkan jabatan ini memerlukan sederet syarat obyektif seperti disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian, pengalaman, kerjasama dan mendapat kepercayaan untuk memangku jabatan.
Perlu diatur dengan perencanaan serta manajemen kepegawaian tingkat daerah yang terukur. Sehingga mampu menjadi pegawai yang efisien, efektif, memiliki derajat tinggi dalam profesionalitas penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban kepegawaian. Manajeman dilakukan secara sistematik mulai dari perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian. Terlebih, pejabat daerah yang notabene adalah pejabat karir, adalah jabatan karier dari seorang pejabat struktural atau fungsional yang hanya dapat diduduki setelah memenuhi berbagai syarat yang ditentukan.
Meskipun ada satu hal yang perlu diingat, bahwa kemampuan gubernur untuk berlaku obyektif dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian kepegawaian tentu terbatas. Maka dibutuhkan instrumen yang dapat membantu gubernur, misalnya Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan Instansi Daerah Propinsi (Baperjakat).
Sayangnya terbetik kabar yang unik dalam pengelolaan jabatan Pemerintahan Propinsi Lampung. Banyak posisi atau jabatan strategis dalam struktur pemerintahan yang ternyata tidak sebanding dengan kualifikasi pegawai yang menjabat.
Jika berkaca pada realitas, banyak penunjukan seorang pejabat tanpa mempergunakan pertimbangan badan yang berwenang. Di lain pihak ada seseorang yang memiliki peran ganda dalam satu penugasan. Apalagi jika ditengarai integritas dan kemampuan personalnya patut dipertanyakan.
Jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan mengakibatkan polarisasi dalam tubuh pemerintahan dan perilaku penunjukan yang se ‘agow-agow’ makin membuktikan tidak adanya manajemen kepegawaian di pemerintahan Provinsi Lampung.
Rekruitmen Membawa Bencana
Model rekruitmen pejabat daerah seharusnya berbeda dengan model rekruitmen kepala daerah. Bagaimanapun jabatan kepala daerah adalah jabatan publik yang diperoleh berdasarkan political recruitmen. Melalui model pemilihan (elections) yang sifatnya langsung (direct). Misalnya, seorang balon (Bakal calon) kepala daerah, harus mengikuti berbagai proses eleksi yang dilakukan banyak pihak. Tetapi pemegang kuncinya tetap partai politik. Berdasarkan UU, seorang balon dalam Pilkada terpaksa membutuhkan parpol sebagai kendaraan. Ibarat penumpang, mau atau tidak harus turuti ‘supir’, walaupun sebenarnya memiliki beragam perbedaan, baik berkenaan dengan organisasi politik, latar belakang idiologi, bahkan orientasi personal seorang balon.
Fenomena yang terlihat sederhana itu, ternyata secara sadar atau tidak, merehegemoni gagasan kedaulatan partai politik dalam rekruitmen pejabat publik di Indonesia, sebagaimana dulu kerap terjadi pada masa orde baru. Karena penetapan calon dari suatu parpol biasanya dilakukan di tingkat internal pengurus. Proses yang kemudian disebut ‘kocok bekem’, karena ditengarai tanpa melalui uji publik. Padahal uji publik merupakan mekanisme sederhana dari pertanggungjawaban partai politik terhadap konstituennya pasca Pemilihan Umum 2004.
Proses yang terakhir justru yang paling memilukan. Pemilihan langsung oleh rakyat. Jika mengikuti logika demokrasi, saat inilah sebenarnya rakyat secara tegas menyerahkan sebagian kedaulatannya. Rakyat secara langsung memberikan kepercayaan pada seseorang untuk menjalankan rencana dan janji-janjinya. Rakyat secara langsung dan merdeka menentukan pilihannya.
Namun jika sejenak cermat menelusuri, maka terbongkar bahwa kenyataannya, rakyat hanya mampu memilih calon kepala daerah yang disodorkan partai politik. Secara implisit, dapat dikatakan sebenarnya rakyat tidak diberi kebebasan menyeleksi siapa calon terbaiknya untuk menjadi Kepala Daerah. Rakyat hanya disuguhi foto dan nama calon Kepala Daerah yang harus di ‘coblos’ pada bilik suara.
Dampak dari proses politik dalam pemilihan kepala daerah tersebut yang kemudian menjadi pemicu kesemerawutan pengisian pejabat daerah. Karena pejabat yang berwenang mengangkat, memindah, dan memberhentikan PNS adalah Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi yaitu gubernur, yang merupakan wakil dari suatu partai politik, yang pernah di‘bekemi’ oleh partai politik.


Edisi 7 Tahun Ke III / April 2005

1 Comments:

  • Yang terbaik adalah melalui pemilihan karena lenih down to earth.

    By Anonymous Anonymous, at 2:51 PM  

Post a Comment

<< Home