Wahana Ekspresi Mahasiswa Hukum

Friday, September 29, 2006

Resensi Buku

Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia: Metodelogi Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Aktivis dan Wartawan
Oleh : Bugi Purnomo Kiki

Korupsi merupakan sebuah kata yang sudah sangat familiar ditelinga kita, tetapi tidaklah demikian juga dalam hal pemberantasannya. Malahan, pemberantasan korupsi merupakan sesuatu yang ‘asing’ di dalam kehidupan kita di negara ini. Hal ini mungkin dikarenakan, korupsi dipandang sebagai suatu sistem kejahatan yang sangat sulit untuk diatasi. Para aparat penegak hukum jarang sekali -kalau mau disebut tidak ada- yang dapat dikatakan sukses di dalam melakukan pemberantasan korupsi. Kendala mereka sangat variasi, mulai dari kurangnya jerat hukum, tidak adanya sarana, kurangnya partisipasi non aparatus, hingga kurangnya cara untuk mengetahui serta mengungkap apakah perbuatan tersebut merupakan korupsi atau bukan, dan masih banyak lagi tentunya. Kira-kira seperti itulah gambaran yang ingin diperlihatkan oleh George Junus Aditjondro atas rumitnya permasalahan tentang pemberantasan korupsi di negeri ini, seperti yang dituangkan dalam kata pengantarnya: “seperti Sisifus mendorong batu ke puncak Olympus” dari bukunya yang berjudul: “membedah kembar siam penguasa politik dan ekonomi Indonesia: metodelogi investigasi korupsi sistemik bagi aktivis dan wartawan”. Buku ini sendiri merupakan buku panduan untuk mencoba memecahkan permasalahan terakhir tersebut, yakni metodelogi bagaimana kita mengungkap jejaring korupsi sistemik khususnya bagi wartawan/aktivis.
Buku setebal 203 halaman ini di bagi atas dua bab. Bab pertama yang bernama sama dengan judul buku ini membahas tentang falsafah apa itu korupsi, perspektif atau jenis-jenisnya, hingga teknik/investigasi mengungkapnya. Bab kedua, yang berjudul “korupsi multi-partai pasca Soeharto di Indonesia: absennya mekanisme kontrol”, khusus membahas modus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh elit papan atas yang terjadi sekitar periode 1999 sampai 2002.
Bab pertama dari buku ini terbagi atas beberapa sub-bab. Sub-bab pertama, membahas seputar dasar-dasar sosiologis tindakan korupsi. Ada hal menarik yang diungkapkan oleh George Junus sebagai kerangka teoritis untuk memahami korupsi di negara kita (hlm. 10). Dia memberikan tiga lapis kerangka teoritis korupsi yang dinukilnya dari Syed Hussein Alatas yang dianggap sebagai refleksi langsung dari berbagai contoh korupsi di Indonesia; William J. Chambliss yang pendekatannya mengacu pada hal-hal inherent dalam birokrasi pemerintahan kita dengan di AS yang menganut sistem demokrasi liberal; dan Milovan Djilas, walaupun teorinya berasal dari sistem sosialisme negara yang melihat sebuah gejala sosial dari timbulnya ‘kelas baru’ di negara penganut sistem partai tunggal, kondisi ini mirip dengan di Indonesia pada era orba. Biasanya, korupsi yang di tinjau oleh ornop-ornop internasional, seperti Transparancy Internasional, hanyalah kerangka korupsi lapis pertama (dari Alatas) dengan gambaran umumnya yakni tingkat korupsi berbanding lurus dengan tingkat kemajuan ekonomi negara tersebut (makin miskin, makin korup; makin kaya, makin bersih dari korupsi) yang menempatkan Indonesia pada urutan keenam paling banyak melakukan korupsi berdasarkan index persepsi korupsi . Namun jikalau menggunakan jejaring korupsi lapis kedua dan ketiga sekaligus ternyata index persepsi korupsi tersebut bias secara drastis, negara-negara yang relatif bersih, seperti Singapura, Swis dan negara Skandinavia serta maskapai-maskapai perusahaan mancanegara, ternyata tidak sebersih yang diperlihatkan oleh ranking dari Transparancy Internasional (hlm 18).
Selain dari tiga jejaring tersebut, juga dipaparkan tentang konsep Oligarki korupsi yang intinya merupakan kelompok-kelompok kepentingan penguasa politik dan ekonomi negara-negara kapitalis yang menguasai pusat-pusat kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan kebijakan-kebijakan yang berkiblat pada kepentingan kelas atas. Untuk di Indonesia, konsep oligarki dianalisis pada periode transisi, perubahan antara oligarki soeharto yang diberi simbol “rezim 4 H”(Soeharto, Habibie, Harmoko, dan Bob hasan) menuju oligarki Megawati yang diberi simbol “rezim 4 T”(Taufiq Kiemas, Tjahjo Kumala, Theo Syafei mereka bertiga dianggap sebagai lingkaran dalam kekuasaan, dan lingkaran luar adalah Tomy Winata). Tiap rezim oleh George Junus dianggap memiliki satu kesatuan atau kesamaan baik itu berasal dari keluarga, rekanan, ataupun kawan dekat. Khusus untuk rezim 4T, Tomy Winata misalnya (hlm 15), digambarkan sering kali melakukkan manuver politik dengan mensponsori pemilihan kepala-kepala daerah di Indonesia Timur.
Selain landasan sosiologis G. Junus juga memberikan gambaran hukum tentang korupsi serta korupsi politik lalu menyarankan perlu ada sistem hukum yang mengatur pemeriksaan kekayaan yang sangat ketat setiap saat selama masa dinas para pejabat negara (hlm 38). Menurutnya, pemeriksaan yang ada sekarang masih banyak kekurangannya, diantaranya adalah ketidakjelasan sanksi terhadap para pejabat yang tidak melaporkan harta kekayaannya.
Di Buku ini pula, G. Junus memberikan solusi terhadap landasan politis Clean Government. Menurutnya, pemisahan jabatan publik dan jabatan bisnis harus jelas. Dengan demikian, penguasa politik tidak merupakan ‘kembar siam’ dari penguasa ekonomi, seperti yang terjadi pada rezim orba di Indonesia (hlm 45). Lebih lanjut dia memberikan lima perangkatkebijaksanaan yang mesti ada guna menunjang agar hal tersebut tercapai, seperti: pembatasan sumbangan parpol, pencegahan pembelian suara, transparansi kekayaan, pelepasan semua jabatan publik dengan dunia usaha dan jabatan parpol.
Selain kebijaksanaan preventif seperti di atas, G. Junus juga tidak lupa memberikan cara bagaimana kita dapat mengungkap korupsi melalui investigasi. Ada sepuluh tahapan yang dapat dilakukan bagi aktivis atau wartawan untuk menyelidiki tindakan korupsi. Diantaranya dapat dilakukan ,melalui internet, buku telepon, koran, mengecek akte notaris dan tambahan berita negara(TBN).
Pada bab kedua, G. Junus lebih berfokus kepada para elit politik atau pejabat negara yang di sinyalir olehnya telah melakukan korupsi.
Buku ini memang menghadirkan perspektif alternatif dalam hal pemberantasan korupsi di negeri ini, hal ini karena korupsi termasuk extra ordinary crime maka, penanganannyapun sudah sewajarnya menggunakan berbagai macam metode, seperti yang diuraikan oleh George Junus. Tetapi, model investigasi dari G. Junus tergolong terlalu sederhana, memang mungkin saja model investigasi ini bisa mengungkap atau mensinyalir adanya praktek korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, tapi hanya sampai “mengungkap” saja, tidak “membuktikan”. Dalam hal ingin membuktikan adanya praktek korupsi hingga pelakunya terjerat dengan pidana yang seberat-beratnya maka diperlukan sinergi antara metode maupun pelaku anti korupsi. Selain itu, di dalam bukunya ini, G. Junus sering menghadirkan contoh-contoh pelaku tindakan korupsi namun, ia tidak terlalu atau tidak semuanya menghadirkan bukti-bukti konkret perihal tindakan koruptor tersebut, jadi seolah-olah menyalahi persumption of innocent. Namun demikian, bisa saja semua itu benar atau salah!Kiki
***
Judul Buku: Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia: Metodelogi Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Aktivis dan Wartawan
Penulis: George Junus Aditjondro
Penerbit: LSPP, Jakarta, Cetakan II, April 2004 Tebal: xxxiv +169 halaman
Buletin WEhH Edisi V-Desember 2004

0 Comments:

Post a Comment

<< Home