Wahana Ekspresi Mahasiswa Hukum

Thursday, January 18, 2007

Laporan Utama

Perda-Perda Bermasalah
Kebebasan Ataukah Kebablasan

Oleh : Ridha Nurul Ihsan


Ketika munculnya era reformasi sejak tahun 1998, Indonesia memulai jejak baru penyelenggaraan pemerintahan yang tadinya bersifat otoriter dan sentralistik (terpusat), berangsur-angsur mencoba menguranginya dengan salah satu cara, yaitu otonomi daerah. Konsep tersebut sebenarnya sebagai upaya mempertahankan bentuk negara kesatuan, sebab adanya kecendrungan yang kuat dari daerah-daerah untuk memisahkan diri (sebut-merdeka), hal ini tiada lain sebagai akibat dari sifat otoriter dan sentralistik tersebut. Penyesuain dasar hukum terhadap perjalanan konsep otonomi daerah ditandai dengan adanya perubahan yaitu UU No 22/1999 diganti dengan UU No 32 /2004.
Daerah pun lebih memilki kewenangan untuk mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri meskipun diberikan oleh pemerintah pusat, dampak yang timbul kemudian terjadi dewasa ini adalah banyaknya produk hukum daerah, terutama Peraturan Daerah (Perda) dianggap bermasalah. Beberapa contohnya yaitu Perda kota Tangerang No 8/2005 tentang pelarangan pelacuran dimana sering terjadi salah penangkapan pelanggarnya dimana perempuan yang berkeliaran tengah malam di kota Tangerang memakai pakaian minim langsung dianggap WTS kemudian ditangkap/ditertibkan. padahal belum tentulah perempuan itu sebagai WTS; Perda lainnya seperti Perda Provinsi Sumbar No 11/2001 tentang pemberantasan dan pencegahan maksiat; Perda.Kab Solok No 10/2001 tentang kewajiban membaca Alquran bagi siswa dan pengantin; Perda Kab Solok No 6/2002 tentang pakaian Muslimah; Perda Kab Padang Pariaman No 2/2004 tentang pencegahan, penindakan, dan pemberantasan maksiat; Perda No 6/2005 Enrekang (Sulawesi Selatan) tentang busana Muslimah dan baca tulis Alquran, Perda Gresik No 7/2002 tentang larangan praktik prostitusi; Perda No 6/2000 Kab Garut tentang kesusilaan dan belum lagi Perda-perda yang mengatur tentang pajak/ restribusi daerah, yang terkadang bertabrakan dengan peraturan pemerintah pusat mengenai hal itu.
Sedangkan untuk daerah Lampung menurut Kepala Biro (Karo) Hukum Sekda Provinsi Lampung Zulkifli, S.H., saat bersama penulis berdiskusi ringan diruang kerjanya menegaskan bahwa di Lampung sendiri Perda-perda yang selama ini berlaku tidak ada yang bermasalah semua jalan dengan prosedure dan tidak bertentangan dengan peraturan lebih tinggi sebagaimana berdasar pada UU No 10/ 2004 Tentang Pembentukan Peraturan perundangan.
Kemudian lanjutnya bahwa dalam pembentukan Perda tersebut haruslah memakai bahan/naskah akademik sehingga akan terlihat perlu atau tidaknya sebuah Perda diterapkan di suatu Daerah sehingga sesuai dengan ciri kas Daerahnya.
Sedangkan untuk tahun 2006 (hingga akhir Juli) tak ada satupun Perda yang diberlakukan, penyebabnya utamanya adalah situasi politik yang buruk antara Pemda dan DPRD Lampung tak kunjung selesai.
Munculnya anggapan adanya Perda bermasalah di berbagai Daerah menurut Komisioner Komnas Anti-Kekerasan Perempuan Tati Krisnawaty adanya kecendrungan bahwa banyaknya Perda-perda substansinya mendiskrimninasikan perempuan yang mengatur bidang ekonomi hingga moralitas (Kompas 21 Juni 2006). Tak anyallah jika Komnas tersebut mendesak pada Lembaga negara yang terkait seperti DPR, MA, Kepolisian, MK, DPD serta Departemen Hukum dan HAM untuk proaktif menanggapi Perda bermasalah.
Apabila dilihat dari kebanyakan Perda-Perda yang dianggap bermasalah tersebut substansinya mengarah/merujuk/bersumber pada sariat Islam, sehingga tentunya perlu persamaan persepsi batasan Perda hingga disebut bermasalah. Bagi kalangan pro sariat Islam akan beranggapan tidak bermasalah, berbeda halnya dengan kalangan tidak setuju sariat Islam jelas akan menganggap suatu Perda bermasalah sebab berbeda dasar pandangan kajiannya.
Ketua UKM Birohmah Unila Zulkarnaen R, memandang dari sudut pandang keislaman tentang adanya perda bermasalah itu sebenarnya tidak tepat penggunaan istilah “masalah,” karena penyusunannya telah berdasarkan pada keinginan masyarakat setempat. Apabila memang banyak Perda yang terarah pada sariat islam dalam substansinya bukan sebuah bentuk Perda bermasalah akan tetapi merupakan sebuah gejala masyarakat yang mengingingkan sariat islam masuk dalam sistem hukum yaitu masuk peraturan perundangan berupa Perda, lain halnya ketika bermasalah dalam penerapannya. Adanya elemen masyarakat yang menyatakan perda substansinya ada unsur sariat islam disebut bermasalah pada dasarnya merupakan fobia saja.
Berbeda halnya apa yang disampaikan oleh Kasubbag Tata Hukum Biro Hukum Sekda Prov Lampung Lutfi Siasa,S.H., yang berpendapat bahwa sebuah Perda di katakana bermasalah ketika merugikan atau memberatkan masyarakat setempat. Oleh karenanya penyusunannya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun ujarnya, “ yang menjadi kerancuan sekarang adalah tentang pencabutan Perda oleh Pemerintah pusat.”
Kesesuaian antara Perda dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi berdasar pada UU No 10 tahun 2004, serta peraturan turunannya seperti Peraturam Menteri Dalam Negeri No 15, 16, 17 tahun 2005 tentang petunjuk teknis penyusunan produk hukum daerah menjadi pedoman bagi Daerah-daerah untuk memberlakukan sebuah Perda, sehingga apa yang menjadi tujuan adanya konsep otonomi daerah akan tetap terjaga.
Sebuah kebebasan bukan berarti menjadi kebablasan, tetapi pengendalian diri intinya, maknanya bahwa pemberian kewenangan lebih bagi Daerah bukan berarti sebebasnya bertindak tetapi harus ingat adanya pengendali yaitu dasar hukumnya.


Majalah WEhH Edisi I Desember 2006

1 Comments:

  • Berikan hak seluas luasnya kepada daerah biarkan daerah belajar dan mempunyai pengalaman dalam mengurus dirimereka sendiri. Ini sudah bukan zamannya lagi top down approach namun langsung terjen ke grass roots dan itu berada di daerah.

    By Anonymous Anonymous, at 2:46 PM  

Post a Comment

<< Home